Ini tentang adab, bukan bicara masalah hukum. Tentang pembahasan poligami. Kita sadar dan kita melek hukum tentangnya. Tapi permasalahannya cuma di pembicaraannya.
Bayangkan, berapa banyak hati yang berkeping tetapi tidak bisa berbuat apa-apa lantaran kekasihnya membicarakan terang-terangan tentang keinginannya mendua. Berapa bilik jantung yang retak bahkan pecah karenanya? Banyak juga wanita yang sadar, dan juga melek hukum tentangnya. Namun permasalahannya tetap hanya pada pembicaraan tentang poligami itu. Hanya sebagai pembicaraan sia-sia. Karena tidak ada nyali untuk beraksi; mencari - khitbah - nadhor - menikah. Sekedar omong kosong saja yang tidak ada perencanaan atau rancangan untuk menikah lagi, tidak ada sama sekali.
Saya pernah punya pengalaman bagus. Seorang tamu yang hadir di rumah menemani ngopi. Pembicaraannya tentang akhwat, janda-gadis, poligami, tanpa ijin istri, dan seterusnya dan sebagainya. Ikhwannya bukan potongan yang secara dhahir sudah memiliki potongan punya nyali untuk nikah lagi, tapi kalo bicara tentang poligami gegap gempita. Sedang seru-serunya dia bicara, pintu dalam diketuk, isyarat saya masuk. Tanpa banyak bertanya, sudah dihadang nasehat dari seorang wanita, "Katakan pada temanmu itu, kalau mau nikah lagi, nikah lagi aja. Pembicaraan yang ngga ada ujung pangkalnya, tidak pernah bisa diambil faedahnya. Poligami itu aksi senyap seperti ketika hendak menikah yang pertama dulu. Bukan sekedar obrolan seperti kita meludah.." Saya tidak berkata apa-apa kecuali menelan ludah. Iya, istri saya benar sepenuhnya. Yang diramaikan itu walimahnya, bukan proses dan rancangannya. Apalagi sekedar omong kosong tak tentu arah. Rancangan bukan, planning apalagi. Sekedar mengisi waktu luang menghangatkan pembicaraan. Ikhwan dengan style seperti ini banyak. Sering kita temui di setiap komunitas.
Saya sedang berpikir jelek. Bagaimana seandainya syariat ini memperbolehkan poliandri (wanita bersuami lebih dari satu) dan ini memang permisalan gendheng yang ngga masuk akal. Tapi biarin. Sekedar taqrib al fahm aja. Gini, semisal boleh dan permisalan ini bukan bahasan kita. Istri kita membicarakan di depan kita dengan santainya berhaha-hihi dengan temen-temen akhwatnya. Tentang ikhwan yang cakep yang duda atau perjaka yang atletis dan langsing, masih muda, atau udah berumur tapi masih seger. Hmmmm.. Golok mana golok. Heuheu..
Nah, wanita itu juga kira-kira punya perasaan persis seperti kita; cemburu kalo kekasihnya bicarakan orang lain. Hanya saja, perempuan ngga bisa ngasah golok. Bisanya cuma mengelus dada, meneteskan air mata, menahan kegetiran jiwa. Dan cuma diem tapi tetep melayani kita. Menyiapkan keperluan kita sehari-hari. Coba mereka yang bicarakan ikhwan. Jamin dah mulut mereka jontor semua.
Nasehat saya, jangan main-main sama syariat. Plus jangan permainkan perasaan wanita. Kalau antum punya keinginan hendak menikah lagi, segala sesuatunya sudah dipersiapkan dengan baik, lahir maupun batinnya. Segera action. Mencari, memproses dan menikah. Tidak ada guyon atau candaan sebelum semuanya jelas. Tidak ada siaran langsung kecuali saat walimah. Senyapkan aja prosesnya. Sebaliknya, kalau antum belum punya nyali, atau engga ada niat sama sekali untuk menikah lagi, maka engga perlu itu yang namanya bicara ngobrol ngalor ngidul ngetan bali ngulon panjang lebar tinggi rendah haha-hihi tentang ta’adduduz-zaujaat. Karena pembicaraan itu pasti sia-sia adanya dan tercela. Karena pembicaraan tentang perempuan dan makanan tanpa hajah adalah tercela. Ngerti?! Hihi..
Liat zuhud dan wara’nya seorang tabi’in yang mulia Al Ahnaf bin Qais rahimahullahu. Beliau menghindari pembicaraan tentang perempuan dan makanan. Masalah perut dan bawah perut. Beliau berkata,
جَنِّبُوا مَجَالِسَنَا ذِكْرَ النِّسَاءِ وَالطَّعَامِ فَإِنِّي أُبْغِضُ الرَّجُلَ أَنْ يَكُونَ وَصَّافًا لِفَرْجِهِ وَبَطْنِهِ
"Jauhkanlah majelis kita dari membicarakan wanita dan makanan, karena aku benci seseorang yang suka membicarakan masalah kemaluan dan perutnya."
Tentu saja pembicaraan yang tidak berhajah. Pembicaraan yang kosong dari faedah. Adapun masalah fikih tentang keduanya, maka disyariatkan. Allahu a’lam.
Dah ya. Ini bukan sentimen dengan antum yang suka bicara tentang poligami. Atau iri dengan antum yang sedang proses menikah lagi. Sama sekali engga. Antum tau yang saya maksudkan.
Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua.
[E P]