--> Skip to main content

An-Najasyi (Raja Habasyah)

An-Najasyi(Ashhamah bin Abjar)

 Tokoh kita kali ini bisa dikatakan tabi'in ketika kita menyebutkan deretan tabi'in. Namun, bisa juga dikatakan sebagai seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keduanya saling berkirim surat. Ketika Ia wafat, menghadap Dzat Yang Mahalembut lagi Mahatinggi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ghaib untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.

 Dialah Ashhamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan An-Najasyi. Marilah pada kesempatan kali ini -kesempatan yang penuh berkah- sejenak kita telusuri kehidupan seorang tokoh besar kaum muslimin ini.

-----------

 Ayah Ashhamah adalah raja negeri Habasyah. Ashamah adalah anak tunggal, ayahnya tidak memiliki anak selain dirinya. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu. Sebagian tokoh Habasyah saling mengadakan persekongkolan.

 "Sesungguhnya raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan saja. Dia akan mewarisi tahta bila raja wafat dan mengantarkan kita ke arah kebinasaan. Lebih baik kita bunuh sang raja. Dan kita angkat saudaranya sebagai raja baru. Dia memiliki dua belas orang putra yang akan membelanya semasa hidup dan menjadi pewarisnya jika meninggal."

 Dengan gencar setan membisiki dan memprovokasi mereka, hingga akhirnya mereka, membunuh rajanya dan mengangkat saudaranya sebagai raja baru yang menggantikannya.

 Kini Ashhamah diasuh oleh pamannya. Ia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli debat dan berkepribadian tinggi.Ia menjadi andalan sang paman. Bahkan diutamakan lebih dari anak-anaknya sendiri. Namun, setan kembali memprovokasi para pembesar Habasyah. Mereka kembali bermusyawarah. Di antara mereka berkata, "Demi Allah, kita khawatir bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahnya dulu."

 Akhirnya mereka menghadap raja dan berkata, "Wahai raja, kami tidak merasa aman, nyaman dan tenteram bila Anda membiarkan Ashhamah itu hidup. Kami akan tenang bila Anda membunuhnya atau menyingkirkannya dari sini. Dia sekarang sudah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam."

 Mendengar permintaan mereka , sang raja marah besar, "Kalian adalah sejahat-jahat kaum! Dahulu kalian membunuh ayahnya. Sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya juga. Demi Allah, aku tidak akan melakukannya."

 "Kalau begitu kami akan mengasingkannya saja dari negeri ini!" kata mereka. Sang raja tidak berdaya, Ia tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tekanan dan intimidasi serta paksaan para pejabat jahat itu.

-----------

 Tak lama setelah terusirnya Ashhamah, -sehari atau beberapa hari setelah itu- tiba-tiba terjadi peristiwa yang di luar dugaaan. Badai mengamuk, disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh. Tiang besar itu menimpa sang raja yang sedang berduka akibat kehilangan keponakannya. Dan akhirnya beberapa waktu kemudian dia wafat.

 Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra raja. Namun ternyata tak ada seorangpun dari mereka yang pantas menduduki tahta kehormatan itu.

 Mereka menjadi cemas dan gelisah, lebih-lebih setelah negeri-negeri tetangga menunggu kesempatan untuk melakukan ekspansi, penyerangan dan penjajahan. Kemudian ada salah seorang di antara mereka yang berkata,

 "Demi Allah, tidak ada yang pantas menjadi pemimpin  kalian kecuali pemuda yang telah kalian usir itu. Jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah maka carilah dia dan pulangkanlah dia!"

 Mereka segera bergegas mencari Ashhamah. Berhasil. Ya, mereka berhasil membawanya pulang kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Mahkota mereka letakkan dan sematkan di atas kepalanya, kemudian membaiatnya sebagai raja. Mereka memanggilnya dengan sebutan An-Najasyi,  Dia memimpin negeri dengan baik dan adil. Kini Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya di dominasi oleh kebathilan dan kejahatan.

-----------

 Pada saat yang sama -dengan naiknya An-Najasyi menjadi raja menduduki tahta di Habasyah- di tempat lain -di Jazirah Arab- Allah mengutus nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membawa agama yang penuh hidayah, petunjuk dan kebenaran, satu-persatu para sahabat pertama memeluk agama ini.

 Orang-orang Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Mekah sudah terasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin Quraisy, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka.

 "Sesungguhnya di Habasyah ada seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian kesana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya sampai Allah subhanahu wa ta'ala memberikan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini."

-----------

 Maka, sekitar delapan puluh orang bertolak ke negeri Habasyah. Rombongan muhajirin pertama dalam islam. Di negeri baru itu, mereka mendapat ketenangan dan rasa aman. Mereka bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.

 Akan tetapi pihak Quraisy tidak tinggal diam.Terutama setelah mereka mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muslimin atau menarik kembali mereka ke mekah.

-----------

 Dua utusan di kirim ke An-Najasyi di Habasyah. Keduanya adalah orang pilihan lagi pandai bernegosiasi dan berdiplomasi. Mereka berdua adalah 'Amr bin Al-'Ash dan 'Abdullah bin Abi Rabi'ah. Dua utusan ini di bekali dengan hadiah-hadiah yang berjumlah besar untuk raja An-Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang terkenal dengan senang dan hobi dengan barang-barang Mekah.

 Setibanya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menemui para pejabat dan menyuap mereka. Hadiah-hadiah itu di serahkan kepada para pejabat itu.

 "Di negeri Anda telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka murtad dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami. Maka jika nanti kami menghadap An-Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka tanpa harus bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan kami harapkan kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami," kata dua orang utusan Quraisy itu.

 Setelah memilih saat yang tepat, 'Amr bin Al-'Ash dan 'Abdullah bin Abi Rabi'ah menghadap An-Najasyi. Mereka lebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Habasyah. An-Najsyi menyambut mereka dengan baik, karena sebelumnya ia telah kenal dengan 'Amr bin Al-'Ash. Kemudian tokoh Quraisy itu memberikan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan.

 Raja An-Najasyi menghargai pemberian hadiah-hadiah mereka. Kemudian 'Amr bin Al-'Ash mulai angkat bicara.

 "Wahai raja, telah tiba di negeri Anda beberapa pengacau dari kaum kami. Mereka telah murtad dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang tidak kami kenal tidak pula Anda mengenalnya. Kami berdua diutus oleh pimpinan kaum kami untuk meminta agar Anda bersedia mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena kaumnyalah yang lebih tahu apa yang diakibatkan oleh agama baru itu."

 An-Najasyi menoleh kepada para penasihat utama dan meminta pendapat mereka.

 "Benar wahai raja, kita tidak tahu agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih mengetahui keadaan mereka daripada kita," kata para penasihat.

 "Tidak, demi Allah. Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan, maka aku tidak keberatan untuk menyerahkannya kepada kalian. Namun, kalau mereka dalam kebenaran maka aku akan melindungi dan menjamin mereka selama mereka masih ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah  yang telah mengembalikanku kenegeri ini karena ulah orang-orang yang keji," kata An-Najasyi begitu bijak.

-----------

 Kaum muslimin yang hijrah itu di panggil oleh An-Najasyi ke istana. Kaum muslimin ini hendak dipertemukan dengan utusan kaum mereka. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu bertukar pikiran sebelum berangkat menghadap An-Najasyi.

 "Apa jawaban kita nanti kalau ditanya tentang agama ini?" tanya salah seorang.

 "Kita katakan saja apa yang difirmankan oleh Allah  dalam kitab-Nya dan kita jelaskan apa yang diajarkan oleh Rasulullah  tentang Rabb-nya," jawab yang lain.

 Berangkatlah mereka menuju istana. Di sana mereka melihat 'Amr bin Al-'Ash dan 'Abdullah bin Rabi'ah. Sementara uskup-uskup An-Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan mereka. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disiapkan setelah memberi salam secara islam.

 'Amr bin Al-'Ash menoleh kepada mereka.

 "Mengapa kalian tidak sujud kepada raja?" tanyanya.

 "Kami tidak sujud kecuali kepada Allah  ," jawab mereka.

 An-Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memperhatikan mereka dengan pandangan simpati.

 "Apa sebenarnya agama yang kalian anut?" tanya An-Najasyi. "Kalian telah meninggalkan agama nenek moyang kalian, namun tidak pula memeluk agama kami," lanjutnya.

 Setelah memohon izin, Ja'far angkat bicara.

 "Wahai raja, kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Tetapi Muhammad bin 'Abdillah  telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Pada awalnya, Kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutus tali kekeluargaan, memakan bangkai, berbuat zalim, tidak menghormati tetangga dan yang kuat memangsa yang lemah.

 Dalam kondisi ini, Allah  mengutus seorang rasul yang kami ketahui asal-usul dan garis keturunannya. Kami mempercayai kejujurannya, amanah dan kesuciannya untuk menyeru kami kejalan Allah, mengajak kami untuk beribadah dan mengesakan-Nya.

 Beliau memerintahkan kami untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan meninggalkan penyembahan berhala dan bebatuan. Beliau memerintahkan kami agar senantiasa jujur dalam perkataan, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram dan menghargai darah.

 Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti ajarannya dan menjalankan apa yang beliau bawa.

 Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah  saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kami mengharamkan apa yang Allah  haramkan bagi kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan bagi kami. Tetapi kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali ke agama nenek moyang, agar kami menyembah patung dan berhala setelah menyembah Allah  . Karena mereka berbuat zalim dan aniaya serta menghalangi kami untuk menjalankan agama, kami lari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapat perlakuan zalim disini."

 An-Najasyi bertanya kepada Ja'far bin Abi Thalib, "Apakah kalian membawa sesuatu yang diajarkan oleh nabi kalian tentang Rabb-nya?"

 "Ya," jawab Ja'far singkat.

 "Tolong bacakan untuk kami!" pinta An-Najasyi.

 Lalu Ja'far membacakan surat Maryam,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا (An-Najasyi(Ashhamah bin Abjar)

 Tokoh kita kali ini bisa dikatakan tabi'in ketika kita menyebutkan deretan tabi'in. Namun, bisa juga dikatakan sebagai seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keduanya saling berkirim surat. Ketika Ia wafat, menghadap Dzat Yang Mahalembut lagi Mahatinggi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat ghaib untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.

 Dialah Ashhamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan An-Najasyi. Marilah pada kesempatan kali ini -kesempatan yang penuh berkah- sejenak kita telusuri kehidupan seorang tokoh besar kaum muslimin ini.

-----------

 Ayah Ashhamah adalah raja negeri Habasyah. Ashamah adalah anak tunggal, ayahnya tidak memiliki anak selain dirinya. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu. Sebagian tokoh Habasyah saling mengadakan persekongkolan.

 "Sesungguhnya raja kita hanya memiliki seorang putra. Dia hanya menyusahkan saja. Dia akan mewarisi tahta bila raja wafat dan mengantarkan kita ke arah kebinasaan. Lebih baik kita bunuh sang raja. Dan kita angkat saudaranya sebagai raja baru. Dia memiliki dua belas orang putra yang akan membelanya semasa hidup dan menjadi pewarisnya jika meninggal."

 Dengan gencar setan membisiki dan memprovokasi mereka, hingga akhirnya mereka, membunuh rajanya dan mengangkat saudaranya sebagai raja baru yang menggantikannya.

 Kini Ashhamah diasuh oleh pamannya. Ia tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh semangat, ahli debat dan berkepribadian tinggi.Ia menjadi andalan sang paman. Bahkan diutamakan lebih dari anak-anaknya sendiri. Namun, setan kembali memprovokasi para pembesar Habasyah. Mereka kembali bermusyawarah. Di antara mereka berkata, "Demi Allah, kita khawatir bila kerajaan ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas kematian ayahnya dulu."

 Akhirnya mereka menghadap raja dan berkata, "Wahai raja, kami tidak merasa aman, nyaman dan tenteram bila Anda membiarkan Ashhamah itu hidup. Kami akan tenang bila Anda membunuhnya atau menyingkirkannya dari sini. Dia sekarang sudah beranjak dewasa dan kami khawatir dia akan balas dendam."

 Mendengar permintaan mereka , sang raja marah besar, "Kalian adalah sejahat-jahat kaum! Dahulu kalian membunuh ayahnya. Sekarang kalian memintaku untuk membunuhnya juga. Demi Allah, aku tidak akan melakukannya."

 "Kalau begitu kami akan mengasingkannya saja dari negeri ini!" kata mereka. Sang raja tidak berdaya, Ia tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tekanan dan intimidasi serta paksaan para pejabat jahat itu.

-----------

 Tak lama setelah terusirnya Ashhamah, -sehari atau beberapa hari setelah itu- tiba-tiba terjadi peristiwa yang di luar dugaaan. Badai mengamuk, disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang pilar istana roboh. Tiang besar itu menimpa sang raja yang sedang berduka akibat kehilangan keponakannya. Dan akhirnya beberapa waktu kemudian dia wafat.

 Rakyat Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah satu dari dua belas putra raja. Namun ternyata tak ada seorangpun dari mereka yang pantas menduduki tahta kehormatan itu.

 Mereka menjadi cemas dan gelisah, lebih-lebih setelah negeri-negeri tetangga menunggu kesempatan untuk melakukan ekspansi, penyerangan dan penjajahan. Kemudian ada salah seorang di antara mereka yang berkata,

 "Demi Allah, tidak ada yang pantas menjadi pemimpin  kalian kecuali pemuda yang telah kalian usir itu. Jika kalian memang peduli dengan negeri Habasyah maka carilah dia dan pulangkanlah dia!"

 Mereka segera bergegas mencari Ashhamah. Berhasil. Ya, mereka berhasil membawanya pulang kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Mahkota mereka letakkan dan sematkan di atas kepalanya, kemudian membaiatnya sebagai raja. Mereka memanggilnya dengan sebutan An-Najasyi,  Dia memimpin negeri dengan baik dan adil. Kini Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah sebelumnya di dominasi oleh kebathilan dan kejahatan.

-----------

 Pada saat yang sama -dengan naiknya An-Najasyi menjadi raja menduduki tahta di Habasyah- di tempat lain -di Jazirah Arab- Allah mengutus nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membawa agama yang penuh hidayah, petunjuk dan kebenaran, satu-persatu para sahabat pertama memeluk agama ini.

 Orang-orang Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Mekah sudah terasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan musyrikin Quraisy, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka.

 "Sesungguhnya di Habasyah ada seorang raja yang tidak suka berlaku zalim terhadap sesama. Pergilah kalian kesana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya sampai Allah subhanahu wa ta'ala memberikan jalan keluar dan membebaskan kalian dari kesulitan ini."

-----------

 Maka, sekitar delapan puluh orang bertolak ke negeri Habasyah. Rombongan muhajirin pertama dalam islam. Di negeri baru itu, mereka mendapat ketenangan dan rasa aman. Mereka bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah tanpa gangguan.

 Akan tetapi pihak Quraisy tidak tinggal diam.Terutama setelah mereka mengetahui bahwa kaum muslimin bisa hidup tenang di habasyah. Mereka segera berunding menyusun makar untuk menghabisi kaum muslimin atau menarik kembali mereka ke mekah.

-----------

 Dua utusan di kirim ke An-Najasyi di Habasyah. Keduanya adalah orang pilihan lagi pandai bernegosiasi dan berdiplomasi. Mereka berdua adalah 'Amr bin Al-'Ash dan 'Abdullah bin Abi Rabi'ah. Dua utusan ini di bekali dengan hadiah-hadiah yang berjumlah besar untuk raja An-Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang terkenal dengan senang dan hobi dengan barang-barang Mekah.

 Setibanya di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menemui para pejabat dan menyuap mereka. Hadiah-hadiah itu di serahkan kepada para pejabat itu.

 "Di negeri Anda telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka murtad dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami. Maka jika nanti kami menghadap An-Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka tanpa harus bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah mereka dan kami harapkan kalian sudi menyerahkan mereka kepada kami," kata dua orang utusan Quraisy itu.

 Setelah memilih saat yang tepat, 'Amr bin Al-'Ash dan 'Abdullah bin Abi Rabi'ah menghadap An-Najasyi. Mereka lebih dahulu sujud menyembah seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Habasyah. An-Najsyi menyambut mereka dengan baik, karena sebelumnya ia telah kenal dengan 'Amr bin Al-'Ash. Kemudian tokoh Quraisy itu memberikan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan salam dari para pemuka Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan.

 Raja An-Najasyi menghargai pemberian hadiah-hadiah mereka. Kemudian 'Amr bin Al-'Ash mulai angkat bicara.

 "Wahai raja, telah tiba di negeri Anda beberapa pengacau dari kaum kami. Mereka telah murtad dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang tidak kami kenal tidak pula Anda mengenalnya. Kami berdua diutus oleh pimpinan kaum kami untuk meminta agar Anda bersedia mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena kaumnyalah yang lebih tahu apa yang diakibatkan oleh agama baru itu."

 An-Najasyi menoleh kepada para penasihat utama dan meminta pendapat mereka.

 "Benar wahai raja, kita tidak tahu agama baru itu dan tentunya kaum mereka lebih mengetahui keadaan mereka daripada kita," kata para penasihat.

 "Tidak, demi Allah. Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan, maka aku tidak keberatan untuk menyerahkannya kepada kalian. Namun, kalau mereka dalam kebenaran maka aku akan melindungi dan menjamin mereka selama mereka masih ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan melupakan karunia Allah  yang telah mengembalikanku kenegeri ini karena ulah orang-orang yang keji," kata An-Najasyi begitu bijak.

-----------

 Kaum muslimin yang hijrah itu di panggil oleh An-Najasyi ke istana. Kaum muslimin ini hendak dipertemukan dengan utusan kaum mereka. Mereka menjadi bertanya-tanya, lalu bertukar pikiran sebelum berangkat menghadap An-Najasyi.

 "Apa jawaban kita nanti kalau ditanya tentang agama ini?" tanya salah seorang.

 "Kita katakan saja apa yang difirmankan oleh Allah  dalam kitab-Nya dan kita jelaskan apa yang diajarkan oleh Rasulullah  tentang Rabb-nya," jawab yang lain.

 Berangkatlah mereka menuju istana. Di sana mereka melihat 'Amr bin Al-'Ash dan 'Abdullah bin Rabi'ah. Sementara uskup-uskup An-Najasyi duduk berkeliling dengan pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan mereka. Kaum muslimin duduk di tempat yang telah disiapkan setelah memberi salam secara islam.

 'Amr bin Al-'Ash menoleh kepada mereka.

 "Mengapa kalian tidak sujud kepada raja?" tanyanya.

 "Kami tidak sujud kecuali kepada Allah  ," jawab mereka.

 An-Najasyi menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia memperhatikan mereka dengan pandangan simpati.

 "Apa sebenarnya agama yang kalian anut?" tanya An-Najasyi. "Kalian telah meninggalkan agama nenek moyang kalian, namun tidak pula memeluk agama kami," lanjutnya.

 Setelah memohon izin, Ja'far angkat bicara.

 "Wahai raja, kami sama sekali tidak menciptakan agama baru. Tetapi Muhammad bin 'Abdillah  telah diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Pada awalnya, Kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah api, memutus tali kekeluargaan, memakan bangkai, berbuat zalim, tidak menghormati tetangga dan yang kuat memangsa yang lemah.

 Dalam kondisi ini, Allah  mengutus seorang rasul yang kami ketahui asal-usul dan garis keturunannya. Kami mempercayai kejujurannya, amanah dan kesuciannya untuk menyeru kami kejalan Allah, mengajak kami untuk beribadah dan mengesakan-Nya.

 Beliau memerintahkan kami untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan meninggalkan penyembahan berhala dan bebatuan. Beliau memerintahkan kami agar senantiasa jujur dalam perkataan, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram dan menghargai darah.

 Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu dan memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti ajarannya dan menjalankan apa yang beliau bawa.

 Sekarang, kami hanya beribadah kepada Allah  saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kami mengharamkan apa yang Allah  haramkan bagi kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan bagi kami. Tetapi kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami kembali ke agama nenek moyang, agar kami menyembah patung dan berhala setelah menyembah Allah  . Karena mereka berbuat zalim dan aniaya serta menghalangi kami untuk menjalankan agama, kami lari untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan harapan tidak mendapat perlakuan zalim disini."

 An-Najasyi bertanya kepada Ja'far bin Abi Thalib, "Apakah kalian membawa sesuatu yang diajarkan oleh nabi kalian tentang Rabb-nya?"

 "Ya," jawab Ja'far singkat.

 "Tolong bacakan untuk kami!" pinta An-Najasyi.

 Lalu Ja'far membacakan surat Maryam,


وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا (16) فَاتَّخَذَتْ مِن دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا (17) قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَٰنِ مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيًّا (18) قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا (19) قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا (20) قَالَ كَذَٰلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ ۖ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِّلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِّنَّا ۚ وَكَانَ أَمْرًا مَّقْضِيًّا (21) ۞ فَحَمَلَتْهُ فَانتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22) فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَىٰ جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَٰذَا وَكُنتُ نَسْيًا مَّنسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِن تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24


 "Dan ceritakanlah (kisah) Maryam didalam Al-Qur'an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami (Jibril) kepadanya. Maka ia menjelma dihadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa". Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci". Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!" Jibril berkata: "Demikianlah". Rabb-mu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan". Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, "Janganlah kamu bersedih hati. Sesungguhnya Rabb-mu telah menjadikan anak sungai di bawahmu." (Maryam: 16-24)

  Menangislah An-Najasyi mendengar ayat itu. Tangisan yang menyebabkan jenggotnya basah kuyup akibat linangan dan lelehan air mata yang membanjirinya. Demikian juga para uskup. Kitab-kitab mereka basah akibat hujan deras air mata. Semuanya menangis.

 An-Najasyi berkata kepada para utusan Quraisy, "Apa yang mereka bacakan kepada kami dengan apa yang dibawa oleh 'Isa bin Maryam berasal dari sumber yang sama."

 "Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian selama aku masih hidup," tambahnya. Kemudian An-Najasyi berdiri dari singgasananya dan majelis itu segera dibubarkan.

-----------

 'Amr bin Al-'Ash ikut keluar dari ruangan itu. Kemarahan besar, itulah yang ia bawa pulang.

 "Demi Allah, aku akan menghadap An-Najasyi besok pagi," katanya kepada 'Abdullah bin Abi Rabi'ah. "Aku benar-benar akan mengatakan sesuatu yang akan meledakkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia bisa menghabisi orang-orang itu," tambahnya dengan nada geram.

 Temannya yang hatinya lebih lunak dibandingkan 'Amr mencoba menenangkan.

 "Jangan kau lakukan, wahai 'Amr!" cegahnya. "Bagaimanapun juga mereka masih berkerabat dengan kita walaupun mereka menyelisihi kita."

 "Demi Allah, aku akan memberitahu An-Najasyi perkataan mereka tentang 'Isa bin Maryam," kembali 'Amr bin al-'Ash bertekad ingin menemui raja Habasyah itu, "Mereka telah menyembunyikan sesuatu. Mereka telah menuduh 'Isa dengan tuduhan keji. Mereka meyakini bahwa 'Isa hanyalah seorang hamba."

 Keesokan harinya, 'Amr bin al-'Ash kembali menghadap An-Najasyi.

 "Wahai raja, mereka telah menjelaskan banyak hal kepada Anda. Namun, mereka juga menyembunyikan banyak hal," kata 'Amr mencoba memanas-manasi An-Najasyi.

 "Mereka telah menuduh dan meyakini bahwa 'Isa hanyalah seorang hamba," kata 'Amr lagi.

 Akhirnya, An-Najasyi memanggil kaum muslimin lagi, "Apa yang kalian katakan tentang 'Isa bin Maryam?" tanya An-Najasyi kepada mereka.

 Ja'far kembali yang menjadi wakil dari rombongan muhajirin segera angkat bicara.

 "Kami mengatakan tentang 'Isa sebagaimana yang diajarkan oleh nabi kami," kata Ja'far.

 "Apa yang dikatakan oleh nabi kalian?" tanya An-Najasyi tambah penasaran.

 "Sungguh 'Isa bin Maryam adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Beliau adalah kalimat Allah  yang dihembuskan kepada Maryam seorang perawan yang suci," jelas Ja'far.

 Maka An-Najasyi berkata, "Demi Allah, memang 'Isa bin maryam tidaklah keluar dari apa yang engkau ucapkan walaupun satu ruas jari saja."

 Mendengar ucapan An-Najasyi ini, para uskup saling berbisik di belakangnya. Mereka seakan mengingkari ucapan rajanya. Dengan pandangan tajam, An-Najasyi menoleh kepada para uskup itu.

 "Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan," kata An-Najasyi.

 Sekarang pemimpin ini memandang ke Ja'far bin Abi Thalib bersama teman-temannya.

 "Kalian boleh tinggal dengan aman dinegeri ini. Barang siapa yang berani mengganggu kalian maka aku akan menindaknya secara tegas. Aku tidak sudi untuk disuap, sekalipun dengan segunung emas untuk mengganggu seorang pun di antara kalian," kata An-Najasyi tegas.

 "Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada 'Amr bin Al-'Ash. Kami semua tidak membutuhkannya. Sungguh, Allah tidak menerima suap saat mengembalikan diriku ke negeriku maka bagaimana mungkin aku menerima suap dari mereka ini," tambahnya secara tegas.

-----------

 Negeri Habasyah bergoncang. Para uskup tidak terima dengan keputusan An-Najasyi. Mereka melakukan berbagai makar dan isu-isu miring. Mereka menyatakan bahwa An-Najasyi telah keluar dari agamanya dan mengikuti agama baru. Mereka juga memprovokasi para rakyat untuk melakukan kudeta, menggulingkan rajanya. Bahkan beberapa orang membatalkan baiatnya kepada An-Najasyi.

 An-Najasyi segera mengirim seorang utusan kepada Ja'far bin Abi Thalib dan rombongan untuk memberitahu mereka keadaan yang sedang terjadi. Ia juga menyediakan sebuah kapal buat mereka.

 "Naiklah ke kapal itu. Persiapkanlah diri kalian. Jika aku kalah, maka pergilah kemana saja kalian suka. Dan jika aku menang, kalian boleh kembali ke dalam perlindunganku seperti semula," pesan An-Najasyi kepada mereka.

 Kemudian An-Najasyi mengambil sehelai kulit kijang. Ia menuliskan beberapa kalimat di atasnya, "Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak di sembah kecuali Allah  dan Muhammad adalah hamba-Nya sekaligus penutup para rasul. Aku juga bersaksi bahwa 'Isa adalah hamba dan rasul Allah. Beliau adalah ruh yang berasal dari Allah  dan kalimat-Nya yang ditiupkan ke rahim Maryam."

 Kulit itu lalu ditempelkan di dadanya. Kemudian ia mengambil baju perang dan berlalu memimpin para prajuritnya untuk menghadapi para pembangkang.

 Sesampainya di hadapan para pemberontak itu, terlebih dahulu ia mengajak mereka berdialog.

 "Wahai rakyat Habasyah, katakanlah bagaimana perlakuanku kepada kalian selama ini?" tanya An-Najasyi.

 "Sebaik-baik perlakuan," jawab mereka.

 "Lalu kenapa kalian semua menentangku? Atas sebab apa?" tanya sang Raja kembali.

 "Karena Anda telah keluar dari agama kita dan menyatakan bahwa 'Isa adalah hamba," jawab para pembangkang itu.

 "Bagaimana menurut kalian sendiri?"

 "Dia adalah putra Allah  ."

 Maka An-Najasyi mengeluarkan tulisan yang ia kenakan di dada. Lalu meletakkannya di atas meja kemudian ia membacanya dengan keras.

 "Aku bersaksi bahwa 'Isa bin Maryam tidaklah lebih dari apa yang tertulis di sini." lanjutnya.

 Diluar dugaan, ternyata rakyat dengan senang hati menerima pernyataan An-Najasyi. Akhirnya, mereka membubarkan diri dengan penuh keridhaan dan ketenangan.

-----------

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengikuti perkembangan yang terjadi antara An-Najasyi dengan rakyatnya. Beliau sangat menghargai apa yang ia lakukan kepada para sahabatnya. Besarnya perhatian dan perlindungan yang ia berikan kepada para muhajirin menambah kepercayaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada An-Najasyi. Bahkan berita kegembiraan An-Najasyi dengan islam dan pembenarannya terhadap segala ajaran dan berita yang terdapat dalam Al-Qur'an menambah keyakinan beliau terhadap pemimpin Habasyah itu.

 Hubungan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan An-Najasyi semakin erat saja. Maka, memasuki tahun baru 7 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertekad untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri-negeri tetangga. Dakwah untuk mengajak mereka memeluk agama islam. Beliau juga menulis surat yang berisi peringatan akan iman, nasihat tentang bahaya syirik dan kekufuran. Enam orang sahabat dipilih. Sebelumnya mereka belajar bahasa masing-masing negara yang akan mereka datangi. Tujuannya agar misi dari pengiriman ini mendapatkan hasil yang optimal. Setelah siap, keenam sahabat ini pada hari yang sama berangkat ke negara masing-masing. Di antara utusan itu ada 'Amr bin Umayyah Adh-Dhumari. Dialah yang terpilih ke negeri Habasyah.

-----------

 Sesampainya di negeri Habasyah, 'Amr bin Umayyah segera menghadap An-Najasyi. Ia menyampaikan salam penghormatan kepadanya secara islami. An-Najasyi pun membalasnya dengan balasan yang lebih baik. Bahkan ia menyambutnya dengan meriah dan hangat.

 Setelah merasa nyaman, 'Amr bin Umayyah menyampaikan surat yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada An-Najasyi. Dengan segera ia membuka surat itu. Ternyata isi surat itu adalah ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada dirinya untuk masuk kedalam islam. Dan disana juga terdapat beberapa ayat Al-Qur'an.

 An-Najasyi menempelkan surat itu di mata dan kepalanya dengan penuh hormat dan penghargaan. Setelah itu dia turun dari kursi kebesarannya dengan penuh tawadhu kemudian menyatakan keislaman. Ya, ia memeluk agama islam di hadapan hadirin. Segera ia mengucapkan kalimat syahadat.

 "Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad maka aku akan pergi menemuinya. Tentu aku akan duduk di hadapannya kemudian membasuh kedua kakinya," kata An-Najasyi.

 Ia kemudian menulis surat balasan. Surat singkat dan pendek itu ia tujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Yang isinya bahwa dirinya menerima dan menjawab dakwah beliau. Ia juga menyatakan pembenaran kenabian Muhammad.

 Selanjutnya 'Amr mengeluarkan surat kedua dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Dalam surat itu beliau meminta agar An-Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah bintu Abi Sufyan yang termasuk rombongan yang berhijrah ke negeri Habasyah.

 Ummul Mukminin Ramlah bintu Abi Sufyan yang bergelar Ummu Habibah, kehidupannya penuh liku dan belokan. Kisah sedih dan memilukan memenuhi halaman pertama pada kisah hidupnya. Namun, di halaman terakhir tertoreh kebahagiaan dan kegembiraan yang tak ternilai harganya. Meski sepintas, namun marilah kita simak kisah perjalanannya.

-----------

 Ramlah bintu Abi Sufyan termasuk salah seorang yang menentang berbagai sesembahan yang didewa-dewakan oleh ayah kandungnya sendiri Abu Sufyan bin Harb. Ia adalah tokoh kafir Quraisy pada saat itu. Ramlah menyatakan keimanannya kepada Allah  dan Rasul-Nya. Ia tidak seorang diri. Suami tercinta 'Ubaidullah bin Jahsy juga mengikrarkan keislamannya. Sehingga pasangan suami istri itu termasuk yang mendapatkan siksa dan gangguan serta ancaman dari Quraisy.

 Keduanya ikut rombongan muhajirin yang berlindung kepada An- Najasyi di negeri Habasyah. Mereka telah meninggalkan kampung halaman tempat kelahiran demi menyelamatkan agama mereka. Sebagaimana dikisahkan, para muhajirin itu mendapat pelayanan dan perlindungan dari Raja An- Najasyi. Sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa deritanya akan segera berlalu. Namun ia tidak mengetahui suratan takdir apa yang akan ditetapkan untuknya.

 Allah subhanahu wa ta'ala dengan hikmah-Nya hendak menguji Ummu Habibah. Ujian yang begitu berat. Ujian yang akan menghancurkan akal sehat orang cerdas sekalipun. Suami tercinta 'Abdullah bin Jahsy murtad dari islam. Ia sekarang memeluk agama Nashrani. Bahkan ia berbalik menghina islam dan kaum muslimin. Tidak berhenti di situ, pekerjaannya hanya duduk-duduk di kedai khamr. Ia habiskan hari-harinya untuk mabuk-mabukan. Ia tenggelam dalam perbuatan keji. Berulang kali ia terjatuh dalam kubang lumpur perbuatan nista. Agaknya ia tak pernah puas, terus saja bergelimang dengan maksiat.

 Suami ini memberikan beberapa pilihan kepada Ummu Habibah. Pilihan yang paling manisnya masih terasa pahit. Cerai atau ikut menjadi nasrani.

-----------

 Ummu Habibah di persimpangan jalan. Ia dihadapkan dengan tiga pilihan. Pertama menjawab ajakan suami untuk menjadi nasrani. Yang jelas ini akan menyebabkan dirinya mendapat laknat dunia dan akhirat. Atau ia kembali ke pangkuan ayahnya di kota Mekah. Dan yang jelas ayahnya masih dalam jerat-jerat kesyirikan. Atau ia tetap tinggal di negeri Habasyah. Tinggal di negeri orang, seorang diri, kesepian tanpa sanak famili. Hanya Habibah putri kecilnya yang masih senantiasa menemani dirinya dengan setia.

 Maka, Ummu Habibah lebih mengutamakan keridhaan Allah subhanahu wa ta'ala di atas segala sesuatu. Ia bertekad untuk tetap di negeri Habasyah bersama kaum muhajirin yang lain hingga Allah  memberikan jalan keluar baginya.

-----------

 Tak lama ia merasakan duka dan nestapa, suaminya 'Abdullah bin Jahsy mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddahnya habis datanglah pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala .

 Pagi itu udara sangat cerah. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Setelah dibuka, ia dikejutkan dengan kedatangan Abrahah. Seorang utusan Raja An-Najsyi. Utusan itu menyampaikan salam raja kepadanya.

 "Sesungguhnya Raja An-Najasyi menyampaikan salam kepada Anda," kata Abrahah. "Beliau juga menyampaikan pesan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah meminang Anda untuk menjadi pendamping hidupnya. Kemudian mewakilkan pernikahannya kepada Raja An-Najasyi. Oleh karena itu silahkan Anda tunjuk seorang wali yang akan menikahkan Anda," tambahnya.

 Angan Ummu Habibah terbang tinggi menembus alam kebahagiaan.

 "Semoga Allah  menberikan kebahagiaan kepadamu. Semoga Allah  membahagiakanmu," puji Ummu Habibah. "Aku wakilkan segala urusanku kepada Khalid bin Sa'id bin Al-'Ash. Ia adalah kerabatku yang paling dekat di negeri ini," lanjutnya.

------------

 Hari itu, istana An-Najasyi tampak semarak. Para sahabat yang tinggal di negeri Habasyah berkumpul di kediaman An-Najasyi. Mereka semua menghadiri dan menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .

 Setelah para undangan berkumpul semua, An-Najsyi segera memuji Allah 'azza wa jalla dan memanjatkan sanjungan kepada-Nya. Kemudian ia berpidato;

 Amma ba'du,

 "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memintaku sebagai wakil untuk menikahkannya dengan Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan. Maka aku menerima permintaan beliau. Aku berikan mahar sebesar empat ratus dinar emas sebagai sunnnah Allah dan Rasul-Nya."

 Khalid bin Sa'id lalu bangkit. Ia juga mengucapkan tahmid dan menyanjung serta meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta'ala . Selanjutnya ia mengucapkan shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Lalu ia berkata;

 Amma ba'du,

 "Aku terima pinangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Maka aku nikahkan dirinya melalui engkau sebagai wakilnya dengan Ramlah bintu Abi Sufyan.

 Semoga Allah  memberkahi Rasulullah  dan istri beliau. Selamat berbahagia bagi Ummu Habibah dengan anugerah tersebut."

-----------

 Dua kapal disiapkan oleh An-Najasyi. Kapal itu diperuntukkan untuk mengantar Ummu Habibah beserta putrinya dan para sahabat yang tinggal di Habasyah kembali ke Mekah. Sejumlah rakyat Habasyah yang beriman kepada Allah  dan rasul-Nya juga ikut bersama mereka. Kerinduan untuk bertemu dengan Rasulullah seakan sudah tidak bisa terbendung lagi. Mereka juga sangat ingin Shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Berangkatlah rombongan itu dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib.

 An-Najasyi juga memberi banyak hadiah kepada Ummu Habibah. Berbagai minyak wangi mahal yang dimiliki oleh seluruh istri An-Najasyi tak lupa ia berikan kepada istri baru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu. Di antara hadiah-hadiah itu ada tiga buah tongkat terbuat dari kayu Habasyah pilihan diperuntukkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Dikemudian hari tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri. Sedangkan sisanya belia berikan kepada 'Umar bin Al-Khaththab dan 'Ali bin Abi Thalib. Bilal selalu membawa tongkat itu bila berjalan di muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Tongkat itu juga biasa diberdirikan di hadapan beliau saat ditegakkan shalat sebagai sutrah. Yaitu ketika di tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau saat dalam perjalanan. Juga dipakai dalam shalat-shalat id, idul fitri maupun idul adha dan juga shalat istisqa'.

 Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Bilal adalah pemegang tongkat itu. Lalu pada zaman 'Umar bin Al-Khaththab hingga 'Utsman bin 'Affan, tongkat itu beralih ketangan Sa'id Al-Qarazhi.

 Dalam hadiah-hadiah itu ada juga sebuah cincin emas. Namun beliau tidak memakainya. Cincin itu diberikan kepada Umamah cucu dari putrinya Zainab.

 "Pakailah cincin ini, wahai cucuku!" perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .

-----------

 Namun, sesaat sebelum meletusnya peristiwa Fathu Mekkah, An-Najasyi wafat. Ia dipanggil ke haribaan Rabb-nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil para sahabat untuk melakukan shalat gaib. Padahal beliau belum pernah melakukan shalat gaib sebelum wafatnya dan tidak pula setelahnya.

-----------

 Semoga Allah subhanahu wa ta'ala meridhai Ashhamah An-Najasyi dan menjadikannya ridha. Semoga Dia menjadikan surga sebagai negeri kekekalan baginya. An-Najasyi, sungguh ia adalah orang yang sangat berjasa bagi kaum muslimin. Ia menguatkan mereka di saat lemah, memberikan rasa aman saat takut datang menyerang. Tidaklah semua itu ia lakukan melainkan untuk mengharapkan ridha Allah subhanahu wa ta'ala .

--------------------------------------

 16) فَاتَّخَذَتْ مِن دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا (17) قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَٰنِ مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيًّا (18) قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا (19) قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا (20) قَالَ كَذَٰلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ ۖ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِّلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِّنَّا ۚ وَكَانَ أَمْرًا مَّقْضِيًّا (21) ۞ فَحَمَلَتْهُ فَانتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22) فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَىٰ جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَٰذَا وَكُنتُ نَسْيًا مَّنسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِن تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24)

 "Dan ceritakanlah (kisah) Maryam didalam Al-Qur'an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami (Jibril) kepadanya. Maka ia menjelma dihadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa". Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci". Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!" Jibril berkata: "Demikianlah". Rabb-mu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan". Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, "Janganlah kamu bersedih hati. Sesungguhnya Rabb-mu telah menjadikan anak sungai di bawahmu." (Maryam: 16-24)

  Menangislah An-Najasyi mendengar ayat itu. Tangisan yang menyebabkan jenggotnya basah kuyup akibat linangan dan lelehan air mata yang membanjirinya. Demikian juga para uskup. Kitab-kitab mereka basah akibat hujan deras air mata. Semuanya menangis.

 An-Najasyi berkata kepada para utusan Quraisy, "Apa yang mereka bacakan kepada kami dengan apa yang dibawa oleh 'Isa bin Maryam berasal dari sumber yang sama."

 "Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian selama aku masih hidup," tambahnya. Kemudian An-Najasyi berdiri dari singgasananya dan majelis itu segera dibubarkan.

-----------

 'Amr bin Al-'Ash ikut keluar dari ruangan itu. Kemarahan besar, itulah yang ia bawa pulang.

 "Demi Allah, aku akan menghadap An-Najasyi besok pagi," katanya kepada 'Abdullah bin Abi Rabi'ah. "Aku benar-benar akan mengatakan sesuatu yang akan meledakkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia bisa menghabisi orang-orang itu," tambahnya dengan nada geram.

 Temannya yang hatinya lebih lunak dibandingkan 'Amr mencoba menenangkan.

 "Jangan kau lakukan, wahai 'Amr!" cegahnya. "Bagaimanapun juga mereka masih berkerabat dengan kita walaupun mereka menyelisihi kita."

 "Demi Allah, aku akan memberitahu An-Najasyi perkataan mereka tentang 'Isa bin Maryam," kembali 'Amr bin al-'Ash bertekad ingin menemui raja Habasyah itu, "Mereka telah menyembunyikan sesuatu. Mereka telah menuduh 'Isa dengan tuduhan keji. Mereka meyakini bahwa 'Isa hanyalah seorang hamba."

 Keesokan harinya, 'Amr bin al-'Ash kembali menghadap An-Najasyi.

 "Wahai raja, mereka telah menjelaskan banyak hal kepada Anda. Namun, mereka juga menyembunyikan banyak hal," kata 'Amr mencoba memanas-manasi An-Najasyi.

 "Mereka telah menuduh dan meyakini bahwa 'Isa hanyalah seorang hamba," kata 'Amr lagi.

 Akhirnya, An-Najasyi memanggil kaum muslimin lagi, "Apa yang kalian katakan tentang 'Isa bin Maryam?" tanya An-Najasyi kepada mereka.

 Ja'far kembali yang menjadi wakil dari rombongan muhajirin segera angkat bicara.

 "Kami mengatakan tentang 'Isa sebagaimana yang diajarkan oleh nabi kami," kata Ja'far.

 "Apa yang dikatakan oleh nabi kalian?" tanya An-Najasyi tambah penasaran.

 "Sungguh 'Isa bin Maryam adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Beliau adalah kalimat Allah  yang dihembuskan kepada Maryam seorang perawan yang suci," jelas Ja'far.

 Maka An-Najasyi berkata, "Demi Allah, memang 'Isa bin maryam tidaklah keluar dari apa yang engkau ucapkan walaupun satu ruas jari saja."

 Mendengar ucapan An-Najasyi ini, para uskup saling berbisik di belakangnya. Mereka seakan mengingkari ucapan rajanya. Dengan pandangan tajam, An-Najasyi menoleh kepada para uskup itu.

 "Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan," kata An-Najasyi.

 Sekarang pemimpin ini memandang ke Ja'far bin Abi Thalib bersama teman-temannya.

 "Kalian boleh tinggal dengan aman dinegeri ini. Barang siapa yang berani mengganggu kalian maka aku akan menindaknya secara tegas. Aku tidak sudi untuk disuap, sekalipun dengan segunung emas untuk mengganggu seorang pun di antara kalian," kata An-Najasyi tegas.

 "Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada 'Amr bin Al-'Ash. Kami semua tidak membutuhkannya. Sungguh, Allah tidak menerima suap saat mengembalikan diriku ke negeriku maka bagaimana mungkin aku menerima suap dari mereka ini," tambahnya secara tegas.

-----------

 Negeri Habasyah bergoncang. Para uskup tidak terima dengan keputusan An-Najasyi. Mereka melakukan berbagai makar dan isu-isu miring. Mereka menyatakan bahwa An-Najasyi telah keluar dari agamanya dan mengikuti agama baru. Mereka juga memprovokasi para rakyat untuk melakukan kudeta, menggulingkan rajanya. Bahkan beberapa orang membatalkan baiatnya kepada An-Najasyi.

 An-Najasyi segera mengirim seorang utusan kepada Ja'far bin Abi Thalib dan rombongan untuk memberitahu mereka keadaan yang sedang terjadi. Ia juga menyediakan sebuah kapal buat mereka.

 "Naiklah ke kapal itu. Persiapkanlah diri kalian. Jika aku kalah, maka pergilah kemana saja kalian suka. Dan jika aku menang, kalian boleh kembali ke dalam perlindunganku seperti semula," pesan An-Najasyi kepada mereka.

 Kemudian An-Najasyi mengambil sehelai kulit kijang. Ia menuliskan beberapa kalimat di atasnya, "Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak di sembah kecuali Allah  dan Muhammad adalah hamba-Nya sekaligus penutup para rasul. Aku juga bersaksi bahwa 'Isa adalah hamba dan rasul Allah. Beliau adalah ruh yang berasal dari Allah  dan kalimat-Nya yang ditiupkan ke rahim Maryam."

 Kulit itu lalu ditempelkan di dadanya. Kemudian ia mengambil baju perang dan berlalu memimpin para prajuritnya untuk menghadapi para pembangkang.

 Sesampainya di hadapan para pemberontak itu, terlebih dahulu ia mengajak mereka berdialog.

 "Wahai rakyat Habasyah, katakanlah bagaimana perlakuanku kepada kalian selama ini?" tanya An-Najasyi.

 "Sebaik-baik perlakuan," jawab mereka.

 "Lalu kenapa kalian semua menentangku? Atas sebab apa?" tanya sang Raja kembali.

 "Karena Anda telah keluar dari agama kita dan menyatakan bahwa 'Isa adalah hamba," jawab para pembangkang itu.

 "Bagaimana menurut kalian sendiri?"

 "Dia adalah putra Allah  ."

 Maka An-Najasyi mengeluarkan tulisan yang ia kenakan di dada. Lalu meletakkannya di atas meja kemudian ia membacanya dengan keras.

 "Aku bersaksi bahwa 'Isa bin Maryam tidaklah lebih dari apa yang tertulis di sini." lanjutnya.

 Diluar dugaan, ternyata rakyat dengan senang hati menerima pernyataan An-Najasyi. Akhirnya, mereka membubarkan diri dengan penuh keridhaan dan ketenangan.

-----------

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengikuti perkembangan yang terjadi antara An-Najasyi dengan rakyatnya. Beliau sangat menghargai apa yang ia lakukan kepada para sahabatnya. Besarnya perhatian dan perlindungan yang ia berikan kepada para muhajirin menambah kepercayaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada An-Najasyi. Bahkan berita kegembiraan An-Najasyi dengan islam dan pembenarannya terhadap segala ajaran dan berita yang terdapat dalam Al-Qur'an menambah keyakinan beliau terhadap pemimpin Habasyah itu.

 Hubungan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan An-Najasyi semakin erat saja. Maka, memasuki tahun baru 7 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertekad untuk berdakwah kepada enam orang pemimpin negeri-negeri tetangga. Dakwah untuk mengajak mereka memeluk agama islam. Beliau juga menulis surat yang berisi peringatan akan iman, nasihat tentang bahaya syirik dan kekufuran. Enam orang sahabat dipilih. Sebelumnya mereka belajar bahasa masing-masing negara yang akan mereka datangi. Tujuannya agar misi dari pengiriman ini mendapatkan hasil yang optimal. Setelah siap, keenam sahabat ini pada hari yang sama berangkat ke negara masing-masing. Di antara utusan itu ada 'Amr bin Umayyah Adh-Dhumari. Dialah yang terpilih ke negeri Habasyah.

-----------

 Sesampainya di negeri Habasyah, 'Amr bin Umayyah segera menghadap An-Najasyi. Ia menyampaikan salam penghormatan kepadanya secara islami. An-Najasyi pun membalasnya dengan balasan yang lebih baik. Bahkan ia menyambutnya dengan meriah dan hangat.

 Setelah merasa nyaman, 'Amr bin Umayyah menyampaikan surat yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada An-Najasyi. Dengan segera ia membuka surat itu. Ternyata isi surat itu adalah ajakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada dirinya untuk masuk kedalam islam. Dan disana juga terdapat beberapa ayat Al-Qur'an.

 An-Najasyi menempelkan surat itu di mata dan kepalanya dengan penuh hormat dan penghargaan. Setelah itu dia turun dari kursi kebesarannya dengan penuh tawadhu kemudian menyatakan keislaman. Ya, ia memeluk agama islam di hadapan hadirin. Segera ia mengucapkan kalimat syahadat.

 "Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad maka aku akan pergi menemuinya. Tentu aku akan duduk di hadapannya kemudian membasuh kedua kakinya," kata An-Najasyi.

 Ia kemudian menulis surat balasan. Surat singkat dan pendek itu ia tujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Yang isinya bahwa dirinya menerima dan menjawab dakwah beliau. Ia juga menyatakan pembenaran kenabian Muhammad.

 Selanjutnya 'Amr mengeluarkan surat kedua dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Dalam surat itu beliau meminta agar An-Najasyi bertindak sebagai wakil untuk pernikahan beliau dengan Ramlah bintu Abi Sufyan yang termasuk rombongan yang berhijrah ke negeri Habasyah.

 Ummul Mukminin Ramlah bintu Abi Sufyan yang bergelar Ummu Habibah, kehidupannya penuh liku dan belokan. Kisah sedih dan memilukan memenuhi halaman pertama pada kisah hidupnya. Namun, di halaman terakhir tertoreh kebahagiaan dan kegembiraan yang tak ternilai harganya. Meski sepintas, namun marilah kita simak kisah perjalanannya.

-----------

 Ramlah bintu Abi Sufyan termasuk salah seorang yang menentang berbagai sesembahan yang didewa-dewakan oleh ayah kandungnya sendiri Abu Sufyan bin Harb. Ia adalah tokoh kafir Quraisy pada saat itu. Ramlah menyatakan keimanannya kepada Allah  dan Rasul-Nya. Ia tidak seorang diri. Suami tercinta 'Ubaidullah bin Jahsy juga mengikrarkan keislamannya. Sehingga pasangan suami istri itu termasuk yang mendapatkan siksa dan gangguan serta ancaman dari Quraisy.

 Keduanya ikut rombongan muhajirin yang berlindung kepada An- Najasyi di negeri Habasyah. Mereka telah meninggalkan kampung halaman tempat kelahiran demi menyelamatkan agama mereka. Sebagaimana dikisahkan, para muhajirin itu mendapat pelayanan dan perlindungan dari Raja An- Najasyi. Sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa deritanya akan segera berlalu. Namun ia tidak mengetahui suratan takdir apa yang akan ditetapkan untuknya.

 Allah subhanahu wa ta'ala dengan hikmah-Nya hendak menguji Ummu Habibah. Ujian yang begitu berat. Ujian yang akan menghancurkan akal sehat orang cerdas sekalipun. Suami tercinta 'Abdullah bin Jahsy murtad dari islam. Ia sekarang memeluk agama Nashrani. Bahkan ia berbalik menghina islam dan kaum muslimin. Tidak berhenti di situ, pekerjaannya hanya duduk-duduk di kedai khamr. Ia habiskan hari-harinya untuk mabuk-mabukan. Ia tenggelam dalam perbuatan keji. Berulang kali ia terjatuh dalam kubang lumpur perbuatan nista. Agaknya ia tak pernah puas, terus saja bergelimang dengan maksiat.

 Suami ini memberikan beberapa pilihan kepada Ummu Habibah. Pilihan yang paling manisnya masih terasa pahit. Cerai atau ikut menjadi nasrani.

-----------

 Ummu Habibah di persimpangan jalan. Ia dihadapkan dengan tiga pilihan. Pertama menjawab ajakan suami untuk menjadi nasrani. Yang jelas ini akan menyebabkan dirinya mendapat laknat dunia dan akhirat. Atau ia kembali ke pangkuan ayahnya di kota Mekah. Dan yang jelas ayahnya masih dalam jerat-jerat kesyirikan. Atau ia tetap tinggal di negeri Habasyah. Tinggal di negeri orang, seorang diri, kesepian tanpa sanak famili. Hanya Habibah putri kecilnya yang masih senantiasa menemani dirinya dengan setia.

 Maka, Ummu Habibah lebih mengutamakan keridhaan Allah subhanahu wa ta'ala di atas segala sesuatu. Ia bertekad untuk tetap di negeri Habasyah bersama kaum muhajirin yang lain hingga Allah  memberikan jalan keluar baginya.

-----------

 Tak lama ia merasakan duka dan nestapa, suaminya 'Abdullah bin Jahsy mati dalam keadaan mabuk. Setelah masa iddahnya habis datanglah pertolongan Allah subhanahu wa ta'ala .

 Pagi itu udara sangat cerah. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Setelah dibuka, ia dikejutkan dengan kedatangan Abrahah. Seorang utusan Raja An-Najsyi. Utusan itu menyampaikan salam raja kepadanya.

 "Sesungguhnya Raja An-Najasyi menyampaikan salam kepada Anda," kata Abrahah. "Beliau juga menyampaikan pesan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah meminang Anda untuk menjadi pendamping hidupnya. Kemudian mewakilkan pernikahannya kepada Raja An-Najasyi. Oleh karena itu silahkan Anda tunjuk seorang wali yang akan menikahkan Anda," tambahnya.

 Angan Ummu Habibah terbang tinggi menembus alam kebahagiaan.

 "Semoga Allah  menberikan kebahagiaan kepadamu. Semoga Allah  membahagiakanmu," puji Ummu Habibah. "Aku wakilkan segala urusanku kepada Khalid bin Sa'id bin Al-'Ash. Ia adalah kerabatku yang paling dekat di negeri ini," lanjutnya.

------------

 Hari itu, istana An-Najasyi tampak semarak. Para sahabat yang tinggal di negeri Habasyah berkumpul di kediaman An-Najasyi. Mereka semua menghadiri dan menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .

 Setelah para undangan berkumpul semua, An-Najsyi segera memuji Allah 'azza wa jalla dan memanjatkan sanjungan kepada-Nya. Kemudian ia berpidato;

 Amma ba'du,

 "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memintaku sebagai wakil untuk menikahkannya dengan Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan. Maka aku menerima permintaan beliau. Aku berikan mahar sebesar empat ratus dinar emas sebagai sunnnah Allah dan Rasul-Nya."

 Khalid bin Sa'id lalu bangkit. Ia juga mengucapkan tahmid dan menyanjung serta meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta'ala . Selanjutnya ia mengucapkan shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Lalu ia berkata;

 Amma ba'du,

 "Aku terima pinangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Maka aku nikahkan dirinya melalui engkau sebagai wakilnya dengan Ramlah bintu Abi Sufyan.

 Semoga Allah  memberkahi Rasulullah  dan istri beliau. Selamat berbahagia bagi Ummu Habibah dengan anugerah tersebut."

-----------

 Dua kapal disiapkan oleh An-Najasyi. Kapal itu diperuntukkan untuk mengantar Ummu Habibah beserta putrinya dan para sahabat yang tinggal di Habasyah kembali ke Mekah. Sejumlah rakyat Habasyah yang beriman kepada Allah  dan rasul-Nya juga ikut bersama mereka. Kerinduan untuk bertemu dengan Rasulullah seakan sudah tidak bisa terbendung lagi. Mereka juga sangat ingin Shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Berangkatlah rombongan itu dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib.

 An-Najasyi juga memberi banyak hadiah kepada Ummu Habibah. Berbagai minyak wangi mahal yang dimiliki oleh seluruh istri An-Najasyi tak lupa ia berikan kepada istri baru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu. Di antara hadiah-hadiah itu ada tiga buah tongkat terbuat dari kayu Habasyah pilihan diperuntukkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Dikemudian hari tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri. Sedangkan sisanya belia berikan kepada 'Umar bin Al-Khaththab dan 'Ali bin Abi Thalib. Bilal selalu membawa tongkat itu bila berjalan di muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Tongkat itu juga biasa diberdirikan di hadapan beliau saat ditegakkan shalat sebagai sutrah. Yaitu ketika di tempat-tempat yang tidak ada masjid atau bangunan lainnya atau saat dalam perjalanan. Juga dipakai dalam shalat-shalat id, idul fitri maupun idul adha dan juga shalat istisqa'.

 Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Bilal adalah pemegang tongkat itu. Lalu pada zaman 'Umar bin Al-Khaththab hingga 'Utsman bin 'Affan, tongkat itu beralih ketangan Sa'id Al-Qarazhi.

 Dalam hadiah-hadiah itu ada juga sebuah cincin emas. Namun beliau tidak memakainya. Cincin itu diberikan kepada Umamah cucu dari putrinya Zainab.

 "Pakailah cincin ini, wahai cucuku!" perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .

-----------

 Namun, sesaat sebelum meletusnya peristiwa Fathu Mekkah, An-Najasyi wafat. Ia dipanggil ke haribaan Rabb-nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil para sahabat untuk melakukan shalat gaib. Padahal beliau belum pernah melakukan shalat gaib sebelum wafatnya dan tidak pula setelahnya.

-----------

 Semoga Allah subhanahu wa ta'ala meridhai Ashhamah An-Najasyi dan menjadikannya ridha. Semoga Dia menjadikan surga sebagai negeri kekekalan baginya. An-Najasyi, sungguh ia adalah orang yang sangat berjasa bagi kaum muslimin. Ia menguatkan mereka di saat lemah, memberikan rasa aman saat takut datang menyerang. Tidaklah semua itu ia lakukan melainkan untuk mengharapkan ridha Allah subhanahu wa ta'ala .

--------------------------------------

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar