--> Skip to main content

Ummu Salamah

Ummu Salamah, tahukah anda siapakah ia?


Ayahnya, salah seorang pemuka Bani Makhzum yang disegani, Seorang dermawan bangsa Arab yang sangat dihormati. Sampai-sampai ayah Ummu Salamah mendapat gelar Zadur Rakib (bekalnya seorang musafir) karena para musafir tak perlu menyiapkan bekalnya sendiri apabila berkunjung ke rumahnya atau bepergian bersamanya.

Suami Ummu Salamah, 'Abdullah bin 'Abdil Asad, salah seorang dari sepuluh orang yang masuk Islam pertama kali. Tak ada seorangpun yang mendahului dirinya masuk ke dalam Islam kecuali Abu Bakar dan segelintir orang yang tak melebihi hitungan jari tangan.

Namanya adalah Hindun. Bernama kunyah Ummu Salamah. Dengan nama ini ia lebih dikenal.

Ummu Salamah masuk ke dalam Islam bersama sang suami. Ia juga termasuk orang yang pertama-tama menjawab seruan Islam.

Tersebarlah berita keislaman Ummu Salamah dan suaminya. Kaum Quraisy pun sangat geram dan marah mendengarnya. Siksaan dan ancaman mereka lakukan kepada sepasang suami istri muslim itu. Siksaan dan ancaman yang amat sangat berat, kalau saja ditimpakan kepada sebuah batu besar niscaya akan hancur berkeping-keping. Namun berat dan kejamnya siksaan kaum Quraisy tak menjadikan kedua orang itu mundur dan lemah. Ancaman mereka tak menjadikan keduanya ragu maupun bimbang dengan Islam.

Tatkala siksaan terasa bertambah keras oleh mereka berdua, dan Rasulullah ﷺ pun telah mengijinkan kaum muslimin untuk hijrah ke negeri Habasyah, maka Ummu Salamah dan suaminya berangkat bersama rombongan. Mereka berhijrah menyelamatkan agama mereka dari siksaan dan ancaman Quraisy.

Ummu Salamah bersama sang suami bertolak ke negeri yang asing baginya. Mereka berdua meninggalkan kota Mekah -kampung halaman sekaligus tanah kelahiran mereka-. Keduanya rela meninggalkan rumah dan kediaman mereka yang tinggi. Rumah yang dulu menjadi kebanggaan mereka sekaligus warisan yang turun-temurun. Semuanya mereka tinggalkan, hanya berharap pahala dan ridha dari Allah ﷻ .

Namun, selama di bawah perlindungan raja Najasyi -semoga Allah subhanahu wa ta'ala membaguskan wajahnya di jannah-Nya kelak- Ummu Salamah dan sang suami tak bisa menyembunyikan kerinduan hati akan tempat turunnya wahyu. Rasa rindu akan kota Mekah dan kasih sayang Rasulullah ﷺ -sang pemberi hidayah- sepertinya memenuhi hati Ummu Salamah dan sang suami.

Kemudian menyusul pula kabar di kalangan para Muhajirin di negeri Habasyah, bahwa kaum muslimin di Mekah telah bertambah jumlah mereka. Dan bahwasanya keislaman Hamzah bin 'Abdil Muththalib dan 'Umar bin Al Khaththab membuat mereka menjadi kuat. Siksaan dan ancaman kaum Quraisy sedikit berkurang. Mendengar berita gembira itu, sebagian mereka bertekad untuk kembali ke kota kelahiran mereka.

Kembalilah sebagian kaum muslimin dari negeri Habasyah. Ummu Salamah dan suaminya termasuk yang ikut kembali ke kota Mekah.

Sekembalinya ke kota Mekah, ternyata kabar dengan kenyataan tak sesuai. Siksaan bukannya berhenti dengan Islamnya Hamzah dan 'Umar. Bahkan siksaan bertambah keras dan kejam. Kekejaman demi kekejaman, siksaan demi siksaan ditimpakan kaum musyrikin kepada kaum muslimin. Tak bisa digambarkan, siksaan bertambah keras, bahkan melebihi siksaan-siksaan sebelumnya.

Melihat hal ini, Rasulullah ﷺ mengijinkan para shahabat untuk berhijrah ke kota Madinah. Ummu Salamah dan sang suami bertekad menjadi orang pertama yang berhijrah, menyelamatkan agama sekaligus melarikan diri dari siksaan kaum Quraisy.

Namun, hijrah kali ini tak semudah yang mereka bayangkan. Berat dan pahit mengiringi usaha hijrah ini. Bahkan kisah sedih nan tragis tak lupa menjadi hiasannya.

Kita persilahkan Ummu Salamah untuk menceritakan sendiri kisah tragis itu…

Pilu dan ngilu, itulah yang ia rasakan. Tak terbayangkan apalagi tergambarkan.

Ummu Salamah mengisahkan:

Tatkala Abu Salamah bertekad hijrah ke kota Madinah, ia menyiapkan kendaraan untukku. Ia pun menaikkanku ke atasnya dan membawaku. Anak kami -Salamah- dalam pangkuanku. Dengan segera ia menghela kendaraan.

Sebelum meninggalkan kota Mekah, sekelompok orang dari kaum kami -Bani Makhzum- melihat kami. Mereka pun menghalangi kami. Mereka berkata kepada Abu Salamah,

”Kalau engkau mendahulukan dirimu daripada kami, maka bagaimana dengan istrimu ini? Ia adalah putri kami. Kami tidak akan membiarkanmu mengambilnya dari kami lalu engkau membawanya pergi dari negeri ini!!"

Mereka lalu melompat ke arah suamiku dan akhirnya merebut diriku darinya. Namun, Bani ”Abdil Asad -kabilah suamiku- melihat pergelutan ini. Menyala dan berkobarlah kemarahan mereka.

"Demi Allah, kami tak akan membiarkan anak itu berada pada pihak istri setelah kalian merebutnya dari suaminya. Ia adalah hak kami, kami lebih berhak atasnya," kata Bani 'Abdil Asad kepada Bani Makhzum.

Akhirnya, mereka mulai memperebutkan Salamah di hadapan kami. Lepaslah Salamah dari Bani Makhzum dan diambil oleh Bani 'Abdil Asad.

Sejenak, aku tersadar bahwa diriku telah menjadi seorang diri. Suamiku, -Abu Salamah- telah lari ke kota Madinah, menyelamatkan diri dan agamanya. Sedangkan anakku, telah dirampas oleh Bani 'Abdil Asad.

Aku sekarang berada di bawah perlindungan Bani Makhzum. Hanya dalam sesaat, aku terpisah dari suami dan anakku. Sejak saat itu, tiap pagi aku keluar menuju Abthah -tempat tragis terpisahnya diriku dengan anak dan suamiku-. Aku duduk di sana. Bayangan kesedihan senantiasa memenuhi pikiranku. Hanya tangis yang aku lakukan sepanjang hari hingga datang waktu malam.

Setahun, kurang lebihnya kondisi ini berlangsung. Hingga seorang laki-laki dari kabilah pamanku menaruh kasihan sekaligus memecah kesedihanku. Ia mengatakan kepada kaumku, ”Alangkah baiknya kalau kalian melepaskan wanita malang ini. Sungguh kalian telah memisahkan dirinya dari anak dan suaminya!!”

Ia mengulanginya terus, hingga meluluhkan hati kaumku.

”Jika engkau mau, susullah suamimu!" kata mereka.

Tapi bagaimana bisa aku menyusul suamiku di Madinah sementara aku meninggalkan buah hatiku di tengah-tengah Bani 'Abdil Asad di kota Mekah. Bagaimana mungkin kesedihan ini akan sirna dan air mata ini kering sementara diriku berada di kota hijrah tanpa tahu kabar buah hati di kota Mekah.

Sebagian orang melihat kesedihan dan kepedihan yang aku rasa. Mereka berusaha mengobatinya dan menghilangkannya dariku. Akhirnya, mereka membujuk Bani 'Abdil Asad untuk mengembalikan anakku. Dan, ternyata berhasil. Salamah mereka kembalikan ke pangkuanku.

Aku tak ingin berada di Mekah lebih lama lagi setelah aku dapatkan teman untuk safar ke Madinah. Aku sangat khawatir ada hal-hal di luar dugaanku yang akan menghalangiku untuk segera menyusul suamiku. Oleh karena itu, segera aku siapkan kendaraanku. Salamah aku letakkan dalam pangkuanku. Aku pun keluar menuju Madinah untuk menyusul suamiku dengan tanpa ditemani seorangpun.

Sesampainya di daerah Tan'im , aku berjumpa dengan ’Utsman bin Thalhah¹.

"Hendak ke mana engkau wahai putri sang pemberi bekal musafir?” tanyanya padaku.

"Aku ingin menyusul suamiku di kota Madinah,“ jawabku.

"Tidakkah ada seseorang yang menemanimu?"

"Tidak ada demi Allah, kecuali hanya Allah dan anakku ini,” jawabku.

”Demi Allah, aku tidak akan membiarkan dirimu sendiri hingga engkau sampai di Madinah," kata ’Utsman lagi.

Lalu ia mengambil kekang kendaraanku kemudian menggiringnya ke arah Madinah. Demi Allah, belum pernah ada pria Arab yang lebih mulia dan lebih wibawa menemaniku selain 'Utsman bin Thalhah. Ketika singgah di sebuah tempat dari tempat-tempat persinggahan, ia derumkan kendaraanku kemudian ia menjauh dariku. Hingga ketika aku sudah turun dari kendaraan, ia segera mengambil tali kekang dan mengikatnya di sebuah pohon.

Kemudian ia menyingkir dariku menuju pohon yang lain dan bernaung di bawah rindangnya.

Ketika dirasa cukup, ia bangkit menuju kendaraanku dan membawanya di hadapanku, kemudian ia menjauh dariku sambil berkata, ”Silahkan engkau naik!” Maka apabila aku telah naik dan duduk di atas kendaraanku, ia pun lalu mendekat dan segera meraih tali kekang kendaraan.

Demikian ’Utsman bin Thalhah senantiasa memuliakanku sampai kami tiba di kota Madinah. Tatkala ia melihat sebuah kampung di daerah Quba', kampung Bani 'Amr bin 'Auf, ia berkata kepadaku,

”Suamimu berada di kampung ini. Masuklah dengan penuh keberkahan dari Allah.” Ia pun lalu berpaling, kembali ke kota Mekah.

Berkumpullah jiwa-jiwa yang telah lama terpisah. Gembira, itulah yang dirasakan Ummu Salamah ketika bertemu dengan sang suami. Begitu juga sang suami, bahagia bukan kepalang berjumpa dengan anak dan istrinya. Seakan-akan peristiwa dengan sekejap mata berlalu dengan cepatnya.

Perang Badar, tak lepas dari keikut-sertaan Abu Salamah. Ia pun kembali dengan selamat bersama pasukan muslimin lainnya. Sungguh kaum muslimin mendapat pertolongan yang sangat nyata pada perang ini.

Pada perang Uhud, Abu Salamah terjun ke dalamnya. Ujian berat ia terima dan emban, namun ia berhasil melewatinya dengan sebaik-baiknya. Hanya saja, luka-luka menghiasi badannya, sehingga ia harus senantiasa mengobati luka-luka itu. Saking parahnya luka itu, dari luar kelihatan sudah sembuh namun sakit dalam masih terasa. Luka itu mengharuskan Abu Salamah terbaring dan tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur.

Pada masa pengobatan itu, Abu Salamah berkata kepada istrinya, ”Wahai Ummu Salamah, aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, 'Tidaklah seseorang yang ditimpa sebuah musibah, kemudian ia mengucapkan istirja'² dan berdoa:

اللَّهُمَّ عِنْدَكَ أَحْتَسِبُ مُصِيبَتِي فَأْجُرْنِي فِيهَا وَأَبْدِلْ لِي بِهَا خَيْرًا مِنْهَا

”Ya Allah, aku berharap kepada-Mu dari musibah ini, ya Allah, berikanlah kepadaku ganti yang lebih baik."

kecuali Allah ﷻ akan memberinya.”

Abu Salamah tergeletak sakit, tak berdaya di atas tempat tidur selama beberapa waktu. Suatu pagi, Rasulullah ﷺ menjenguknya. Dan demikian hampir tak pernah Rasulullah ﷺ melewatkan satu waktu pun pasti beliau mengetuk pintu rumah Abu Salamah untuk menjenguknya hingga ia wafat.

Nabi ﷺ pun memejamkan kedua mata Abu Salamah dengan kedua tangan beliau. Beliau lalu melayangkan pandangannya ke arah langit seraya mendoakan Abu Salamah. ”Ya Allah, ampunilah Abu Salamah. Tinggikanlah derajatnya dalam barisan orang-orang yang dekat dengan-Mu. Gantikanlah dirinya untuk keluarganya. Ampunilah kami dan dirinya wahai Dzat yang Maha Penyayang lagi Mengampuni Dosa. Perluas dan terangilah kuburnya.”

Adapun Ummu Salamah, ia hanya bisa bermunajat dengan doa yang dahulu pernah diajarkan oleh sang suami kepada dirinya. "Ya Allah, hanya di sisi-Mu lah aku berharap dari musibah ini.”

Namun jiwa Ummu Salamah tak kuat untuk memanjatkan penggalan doa yang kedua, yaitu doa: ”Ya Allah, berilah aku ganti yang lebih baik dari musibah ini.”

Karena kala itu ia bertanya-tanya siapakah yang lebih berhak dan pantas serta lebih baik dari Abu Salamah. Namun, Ummu Salamah tetap melengkapi doanya.

Kaum muslimin bersedih atas musibah yang menimpa Ummu Salamah dengan kesedihan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya atas musibah yang menimpa seorang pun selain Ummu Salamah. Sehingga mereka memberikan julukan Ummu Salamah sebagai ”wanita Arab yang sendiri (tanpa suami)”. Bagaiman tidak, di kota Madinah ia tak memiliki siapapun selain anak kecil yang belum tumbuh bulu-bulu halusnya.

Orang-orang Muhajirin dan Anshar turut mengetahui hak Ummu Salamah atas mereka. Sehingga ketika masa iddah-nya dari Abu Salamah telah selesai, Abu Bakar Ash Shiddiq  mencoba meminangnya. Namun Ummu Salamah belum berkenan menerima pinangan itu.

Berikutnya, Umar bin Al Khaththab juga meminang Ummu Salamah. Namun, seperti halnya Abu Bakar, Ummu Salamah menolak pinangan itu.

Hingga akhirnya, Rasulullah ﷺ, datang meminang wanita itu. Ummu Salamah pun berkata kepada beliau,

”Wahai Rasulullah, sesungguhnya pada diriku terdapat tiga kekurangan. Aku adalah wanita pencemburu, aku khawatir engkau akan melihat sesuatu dalam diriku yang akan membuatmu marah sehingga Allah subhanahu wa ta'ala akan mengadzabku. Yang kedua aku ini sudah tua. Aku juga memiliki tanggungan anak.”

Rasulullah ﷺ menjawab,

”Adapun rasa cemburumu yang sangat maka aku akan memohon kepada Allah ﷻ agar menghilangkannya darimu. Adapun usiamu yang sudah tua maka aku pun sama sudah beranjak tua juga. Adapun anak-anak, maka anak-anakmu adalah anak-anakku juga.”

Akhirnya, menikahlah Rasulullah ﷺ dengan Ummu Salamah. Allah ﷻ, pun kabulkan doa Ummu Salamah dengan menggantikan orang yang lebih baik dari Abu Salamah. Sejak saat itu, Hindun Al Makhzumiyyah tidak lagi menjadi ibu dari seorang putra tunggal Salamah, namun ia menjadi ibunda dari seluruh kaum mukminin.

Semoga Allah ﷻ, membaguskan wajah Ummu Salamah di jannah-Nya kelak. Semoga Allah ﷻ memberikan keridhaan kepadanya.


¹ 'Utsman bin Thalhah: Dahulu dia adalah pelayan Baitullah pada masa jahiliyyah, ia masuk Islam bersama Khalid Bin Al Walid. Ikut serta dalam fathu makkah. Rasulullah ﷺ menyerahkan kunci Ka'bah kepadanya pada hari ketika ia menemani Ummu Salamah.

² istirja' adalah ucapan "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"


ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).

-Surat Al-Baqarah, Ayat 156



©SIRAH SAHABAT -Kisah Indah dan Sejarah Gemilang Generasi Terbaik Umat Ini- cet. Pustaka Al Haura' (terjemahan Shuwar min Hayati ash Shahabah, penulis: Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya)


Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar