--> Skip to main content

Al Miqdad bin Al Aswad radhiyallahu 'anhu

Ia adalah seorang yang berperawakan tinggi, kulitnya hitam, rambut dan jenggotnya kekuning-kuningan. Beliau berasal dari golongan bawah orang Arab. Tidak ada keistimewaan dari sisi fisik dan garis keturunan padanya. Namun, kekurangan ini tidaklah menghambat seorang untuk mencapai derajat mulia di sisi Allah. Inilah sosok shahabat yang terkenal dengan keberaniannya.

Seorang muslim yang sangat taat dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Termasuk tujuh orang yang mula-mula beriman kepada Rasul-Nya dan mendapatkan tekanan dan permusuhan yang hebat dari musyrikin Quraisy. Mengalami peristiwa hijrah ke negeri Habasyah kemudian menyusul Rasulullah hijrah ke negeri Madinah. Ia juga salah seorang penunggang kuda yang tangguh dan pemimpin muslimin di bagian sayap kiri dalam perang Badar. Setelah itu, senantiasa mengikuti sederet peristiwa-peristiwa bersejarah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernilai tinggi di sisi Allah. Inilah al-Miqdad bin Amru bin Tsa’labah bin Malik bin Rabi’ah bin Tsumamah bin Mathrud bin Amru bin Sa’ad bin Dahir al-Bahrany al-Kindy. Nama panggilannya Abu Amru. Dikenal dengan nama al-Miqdad bin al-Aswad atau al-Miqdad bin Amru. Lahir pada tahun 37 sebelum Hijriah. Miqdad bin Aswad juga sering dipanggil dengan Abu Aswad, Abu Ma’bad atau Abu Sa’id. Adapun Al Aswad, itu adalah nama ayah angkat dari Miqdad yang bernama Al-Aswad bin Yaghuts Al-Zuhri.

Banyak keutamaan yang dimiliki oleh Al Miqdad bin Al Aswad radhiyallahu ‘anhu. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa Ia mencintaimu.” Demikianlah, Allah dan Rasul-Nya telah mencintainya, maka setiap muslim juga harus mencintai beliau sebab Allah dan Rasul-Nya telah mencintainya. Beliau juga pernah mendapatkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam peperangan badar, Rasulullah menyeru Miqdad untuk menangkap Al-Nadhar bin Al-Harits, seorang kafir musyrik yang selalu mencemooh dan menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat di Makkah, sehingga iapun dapat tertangkap oleh Al Miqdad radhiyallahu ‘anhu. Atas peran itu Rasulullah mendoakannya, allahumma aghni al-Miqdad min fadlika, yaa Allah cukupilah Al Miqdad dari keutamaan-Mu. Karena doa itu Al Miqdad kemudian dikenal sebagai orang kaya. Karimah binti al-Miqdad bercerita bahwa menjelang kematian beliau, ia pernah berwasiat kepada Al Hasan dan Al Husain untuk diberi tiga ribu dirham dan untuk tiap istri-istri Rasulullah tujuh ribu dirham.

Termasuk dari keistimewaan beliau pula adalah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan sepupu beliau Dhiba’ah binti Az-Zubair bin Abdul Muthalib dengannya. Dhibaah adalah seorang wanita Quraisy yang memiliki silsilah mulia dan masih memiliki tali kekerabatan dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tindakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut telah meruntuhkan tradisi jahiliyah, yang biasanya maula kawin dengan maula, dan syarif dengan syarif. Tradisi itu oleh Rasulullah diubah menjadi maula kawin dengan syarifah, atau syarif dengan maulah. Inilah yang menegaskan bahwa semua manusia sesungguhnya berkedudukan sederajat di dalam Islam. Ketaqwaanlah yang membedakan kedudukannya di sisi Allah. Allah berfirman:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [Q.S. Al Hujurat: 13]

Al Miqdad juga dikenal sebagai seorang yang bijak dan mempunyai pola pikir yang amat dalam. Pandangan-pandangannya senantiasa memancarkan cahaya hikmah. Pernah suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai gubernur untuk suatu wilayah. Pada saat dia kembali dari tugasnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Al Miqdad: “Bagaimana dengan jabatanmu?” Kemudian dia menjawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikanku menganggap diri ini di atas rakyat sedang mereka di bawahku. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak akan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang.

Dalam peristiwa lain pernah Al Miqdad mendengar seorang berkata, “Alangkah senang dan bahagianya dua mata ini (mata Al-Miqdad) dapat melihat Rasulullah. Demi Allah, niscaya kami ingin sekali berjumpa seperti yang dia jumpai.” Mendengar itu al-Miqdad berkata, “Apa yang membuat kalian untuk berangan-angan sesuatu yang telah Allah wafatkan untuk diwujudkan kembali. Dia tidak tahu sekiranya dia hidup ketika itu, apakah dia dapat berbuat yang sepatutnya. Demi Allah, banyak kaum yang hidup sezaman dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi mereka dimasukkan ke neraka jahannam oleh Allah karena tidak menerima dan percaya ajarannya. Kenapa kalian tidak memuji Allah sebab telah dihindarkan dari siksa dan azab seperti mereka. Bahkan Allah telah beri kemudahan pada kalian untuk mengenal Allah dan ajarannya dengan mudah.” [Abu Nu’aim, al-hilyah]

Selama berjuang menyebarkan ajaran Islam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 48 hadits. Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah para pembesar tabi’in seperti Thariq bin Syihab, Ubaidullah bin Ady bin Al Khiar, Abdurrahman bin Abu Laila dan lainnya.

Al Miqdad juga turut serta dalam perang-perang dalam penaklukan wilayah bersama pasukan Islam setelah meninggalnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat Amru bin Ash meminta tambahan pasukan kepada Khalifah Umar bin Khaththab untuk membobol benteng Babilon, Umar bin Al Khaththab mengirimkan 4.000 pasukan yang dipimpin oleh para sahabat senior, yaitu Zubair bin Awwam, Miqdad bin Amru, Ubadah bin Shamit, dan Maslamah bin Mukhallad.

Para shahabatpun banyak memuji beliau. Para shahabat dan teman sejawatnya berkata: “Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad.”

Di akhir kehidupan, beliau meninggal di negeri Al Jurf kemudian jenazahnya dibawa ke Madinah dan dimakamkan di sana. Yang memimpin salat janazah ketika itu adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Beliau wafat tahun 33 H dalam usia 70 tahun. Semoga Allah meridhainya.

[Hammam]

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 33 vol.03 1435H-2014M

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar