--> Skip to main content

Aku Kehilangan Julaibib

    Islam bukanlah agama yang tegak berdiri di atas dongeng dan legenda. Islam bukanlah agama permainan dan senda gurau. Bukan pula dengan standar cerita konon dan katanya. Islam hanyalah membawa kumpulan kisah dan perjalanan manusia yang nyata. Perjalanan hidup anak manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berjalan menyusuri lorong waktu dan meninggalkan jejak bagi orang-orang yang hidup setelahnya. Di atas Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, mereka lalui kehidupan ini. Dengan berlari ataupun harus merangkak sekalipun. Dengan tetesan peluh hingga darah mengucur tetap dihadapi. Sedih dan tangisan itu sudah biasa menghampiri. Demi meraih janji Ilahi.


   Berkisah tentang shahabat Nabi tentu tak pernah ada ujung akhirnya. Membuat takjub siapa pun yang mendengarnya. Menyegarkan iman yang mulai letih. Menumbuhkan sisa semangat yang mulai tergerus kebosanan. Mengingatkan kepada Allah bagi siapa pun yang lalai. Tentu, hanya orang-orang beriman saja yang dengannya bisa tersadarkan dari kehidupan dunia yang melalaikan.

   Tersebutlah disana kisah salah seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Seorang shahabat Anshar yang tidak masuk dalam kategori seorang yang berkedudukan di tengah kaumnya. Julaibib Al Anshari radhiyallahu 'anhu itulah namanya. Miskin tak berharta. Kurang menarik wajah dan perawakannya. Itulah pemberian dan anugerah yang Allah berikan kepada Julaibib, dengan segala sisi kekurangan yang ia miliki. Wajarnya, tentu seorang ayah yang berkedudukan, berharta, memiliki anak gadis rupawan jelita, akan enggan dan urung untuk menikahkan anak gadisnya kepada laki-laki sepertinya.

   Namun demikian, Julaibib adalah seorang yang saleh lagi di cintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Suatu keutamaan yang tidak mungkin dimiliki kecuali seorang yang istimewa. Benar, kecintaan Nabi kepada Julaibib telah membuat iri siapa pun yang hidup setelahnya. Seakan angan pun berkata, “Andaikan aku  menjadi Julaibib saja.”

    Dalam salah satu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  datang berkunjung ke rumah salah seorang sahabat Anshar. Beliau berujar, “Aku ingin meminang putrimu.” Shahabat Anshar tersebut serta merta menyambut dengan penuh bahagia. “Sungguh ini adalah kemuliaan dan suatu kehormatan bagi kami wahai Rasulullah. Ini menjadi penyejuk hati.” Kata shahabat tersebut menimpali.

    Kemudian Rasulullah memperjelas ucapannya, “Sesungguhnya aku meminangnya bukan untukku.”

    “Lalu untuk siapa wahai Rasulullah?” lirih ucapan si shahabat Anshar. Rasulullah  menjawab, “Untuk Julaibib.”

    “Jikaka demikian, aku akan bermusyawarah terlebih dahulu bersama ibunya.” Bergegas shahabat Anshar ini menemui istrinya, ibu dari anak gadisnya. Ia berkata, “Rasulullah datang meminang anak gadismu.” Istrinya membalas, “Ini merupakan kemuliaan dan penyejuk hati.” Si suami kemudian berucap, “Namun, beliau tidaklah meminang untuk dirinya sendiri. Beliau  meminang untuk Julaibib.”

    Spontan istrinya seraya menjawab dengan nada yang mengingkarinya, “Hah…? Untuk Julaibib? Untuk Julaibib? Untuk Julaibib? Ahh… tidak bisa, aku tidak akan menikahkannya dengan Julaibib.”

    Kejadian antara dua orang suami istri tersebut sebenarnya adalah hal yang wajar. Karena tentu seorang ayah ataupun seorang ibu akan menginginkan bagi anak gadisnya seorang suami yang di pandang baik baginya. Maka, kedua orang tua tersebut hendak memilihkan seorang pendamping hidup bagi putrinya seorang laki-laki yang lebih baik dari Julaibib, menurut pandangan mereka.

    Kisah berlanjut, si ayah hendak beranjak bangkit berdiri untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberitakan hasil musyawarah bersama istrinya. Hasilnya, pinangan Rasulullah  untuk Julaibib ditolak. Namun ternyata, putri kesayangannya sayup-sayup mendengar obrolan dan perbincangan kedua orang tuanya.

    Putri mereka bertanya, “Siapakah yang memohon kepada kalian untuk meminangku?” Ibunya menjelaskan bahwa Rasulullah datang kepada mereka untuk meminangnya, dan pinangan tersebut bukan diperuntukkan bagi Rasulullah  sendiri, tapi diperuntukkan bagi Julaibib.

    Putri mereka menjawab dengan tegas, “Apakah kalian akan menolak permohonan Rasulullah  ? Terimalah pinangan tersebut, karena tentu pilihan beliau tidaklah mungkin akan menelantarkan.”

    Dengan hasil keputusan anak gadis mereka, shahabat Anshar tersebut bergegas kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Keputusanya , putri kami menerima permintaanmu.” Maka tidak lama kemudian wanita tersebut menikah dengan Julaibib  .

    Panutan dan menjadi suri teladan. Kepatuhan dan ketundukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengalahkan semua jenis ego pribadi mereka. Kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menutup segala bentuk kecintaan kepada dunia dan isinya. Menggantungkan cita-cita mereka di surga telah menjadi hasrat kehidupan mereka. Itulah karakter hidup para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Mereka telah membuat iri siapa pun sepeninggalnya. Semoga Allah kelak kumpulkan kita bersama para shahabat meski kita tidak mampu beramal sebagaimana amalan mereka.

  وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا


   “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [Q.S. Al Ahzab: 36]

    Kisah berlanjut, hingga suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi berperang. Dalam peperangan yang dahsyat, sebagian shahabat gugur dalam medan pertempuran tersebut. Dan sudah menjadi kebiasaan beliau, selalu mengingatkan para shahabat untuk mencari korban perang di antara mereka.

    Para sahabat berpencar untuk mencari jenazah korban peperangan. Sampai pencarian korban telah dianggap selesai. Apakah masih ada jenazah korban yang belum ditemukan? Para shahabat menjawab, “Iya, kita kehilangan Fulan dan Fulan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Carilah jasad mereka!” Mereka melanjutkan pencarian. Hingga kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bertanya, “Apakah ada jasad yang masih belum kalian temukan?” Mereka menjawab, “Tidak.”

    Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berucap, “Namun aku merasa kehilangan Julaibib, carilah jasadnya di antara korban perang.” Para shahabat bergegas mencarinya, dan akhirnya mereka temukan jasad Julaibib. Jenazahnya berada di tengah tujuh orang kafir yang telah terbunuh.

    Segera mereka sampaikan kabar ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Beliau kemudian berkata, “Julaibib membunuh tujuh orang kafir tersebut, lalu orang-orang kafir membunuhnya. Sungguh dia adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari dirinya.” Demikian beliau ulangi ucapan ini dua atau tiga kali.

    Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  mengangkat jenazah Julaibib seraya membopongnya dan meletakkan dengan lembut di atas lengannya. Dibawalah Julaibib ke dalam liang lahat yang telah dipersiapkan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam  lalu memakamkan jenazah Julaibib radhiyallahu 'anhu .

    Sepeninggal Julaibib radhiyallahu 'anhu , diceritakan kondisi dan keadaan istri yang ditinggalkannya. Bahwa istrinya adalah janda yang paling kaya di banding seluruh para janda lainnya.

    Benarlah doa yang dipanjatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , “Ya Allah anugerahkanlah kepadanya kebaikan yang deras melimpah, dan janganlah jadikan kehidupannya menjadi kehidupan yang sempit menghimpit.”

    Dibalik sebuah kisah yang dituturkan, tentu ada banyak pelajaran yang harus kita petik. Karena tidak ada dalam islam sebuah kisah dan cerita, kecuali ada pelajaran yang mengiringinya. Julaibib, istrinya, dan kedua orang tua istrinya, telah mencontohkan kepada semua manusia yang hidup sepeninggal mereka, untuk menjadi seorang yang patuh dan tunduk kepada bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Tidak ada sedikit pun dari arahan beliau yang akan menyengsarakan atau menelantarkan. Bahkan, sepahit apa pun tuntunannya, maka pasti ujung kesudahannya adalah kebaikan dan kenikmatan di dunia dan di akhirat.

    Barang siapa yakin dan bergantung kepada Allah, pastilah Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Beruntunglah orang-orang yang beriman. Orang-orang yang yakin atas janji Rabbul Alamin.


   Catatan:

a.         Kisah julaibib ini diriwayatkan dari shahabat Abu Barzah Al Aslami  .

b.        Khusus tentang kisah meninggalnya Julaibib di medan perang, diriwayatkan Muslim dalam kitab shahih-nya No. 2472. Dalam kisah tersebut hanya disebutkan secara ringkas tentang meninggalnya Julaibib dalam medan tempur. Tidak disebutkan di dalamnya kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang meminangkan putri shahabat Anshar untuknya. Tidak pula disebutkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalamnya.

c.         Hadis dengan redaksi yang lengkap dan panjang, sebagaimana diceritakan dalam artikel ini adalah hadis shahih. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (Musnad 33/28), Al Baihaqi (Sya’abul Iman3/114), al Baghawi (Syarhus Sunnah 14/196). Hadis tersebut di shahihkan oleh Ibnu Abdil Barr (al-Isti’ab 1/273) al-Baghawi (Syarhus Sunnah 14/198), al-Haitsami (Majma’ az Zawaid 9/368).

d.        Hadis disebutkan oleh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz dan beliau menshahihkannya.


    Maraji’/referensi:
   .   Syarhu Shahih Muslim, an-Nawawi
   .   Tafsir Ibnu Katsir
   .   Usdul Ghabah, karya Ibnul Atsir


oleh: Hamzah bin Rifa'i

Majalah Qudwah edisi 25 vol.03 2015 rubrik Khairul Ummah



Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar