Shahabat Mulia dari negeri Yaman
Para pembaca rahimakumullah.
Mungkin, kita semua telah tahu, bahwa hati yang baik lagi bersih akan memunculkan keelokan pada lahiriah pemiliknya. Di dalamnya tersimpan ketulusan niat, keikhlasan yang memancarkan cahaya kebaikan. Menjadi baguslah amalan yang terlahir darinya. Demikianlah kiranya, gambaran seorang shahabat mulia, Abu Musa al-Asy’ari. Kebenaran iman yang menghiasi sanubarinya mewujud dalam pribadinya yang shalih. Sosok pemimpin yang taat beribadah, banyak berpuasa, berilmu, sekaligus pendidik sejati. Sekelumit dari rangkaian kehidupannya terangkum dalam tulisan berikut ini.
Abu Musa, Pemilik Suara yang Merdu
Beliau bernama ‘Abdullah bin Qais al-Asy’ari at-Tamimi. Beliau dilahirkan di daerah Zabid, Yaman. Ibunya adalah Zhabyah bintu Wahb yang masuk Islam dan kemudian meninggal di Madinah. Abu Musa seorang yang bertubuh pendek, ramping dan tidak lebat jenggotnya. Beliau termasuk salah seorang shahabat yang mahir dalam membaca al-Qur’an. Di antara kelebihan yang Allah berikan kepada beliau adalah suara yang sangat indah. Rasulullah bersabda tentangnya, “Sungguh Abu Musa telah diberi satu seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.” Pernah suatu malam, Abu Musa melantunkan bacaan al-Qur’an dengan merdunya. Bangkitlah istri-istri Rasulullah mendengarkan bacaan Abu Musa. Pagi harinya, dikabarkan hal itu kepada Abu Musa. Beliaupun berujar, “Kalau saja aku mengetahui hal itu, niscaya aku akan perbagus dengan bacaan yang indah.” Di masa Khalifah ‘Umar, beliau seringkali meminta kepada Abu Musa, “Ingatkanlah kami wahai Abu Musa!” atau, “Buatlah kami rindu kepada Rabb kami!”. Maka Abu Musa membacakan al-Qur’an dengan alunan yang demikian merdu.
Kisah Keislamannya
Asy’ariyyun adalah sebuah kaum yang berasal dari negeri Yaman. Abu Musa al-Asy’ari datang ke Mekkah dan di sanalah beliau mendapatkan hidayah Islam. Lalu beliau kembali ke negerinya. Hingga akhirnya beliau bersama 50 orang lebih dari kaumnya yang telah berislam pergi meninggalkan negeri mereka. Di tengah perjalanan, kapal yang mereka naiki terbawa angin hingga mengantarkan mereka ke Habasyah. Di sanalah kemudian kaum Asy’ariyyun ini bergabung dengan Ja’far bin Abi Thalib dan para shahabat lainnya. Kemudian, bersama-sama mereka berhijrah ke Madinah. Sebelum kedatangan Asy’ariyyun ke Madinah, Rasulullah bersabda, “Besok akan datang kepada kalian suatu kaum yang lebih lembut hatinya terhadap Islam daripada kalian.” Lalu datanglah mereka, di antaranya Abu Musa. Tatkala mereka telah dekat ke Madinah, merekapun mendendangkan syair, “Besok kita akan bertemu orang-orang tercinta, Muhammad dan golongannya.” Setibanya di Madinah, mereka pun melakukan jabat tangan. Dan mereka inilah yang awal kali melakukan dan mengenalkan jabat tangan.
Kedalaman Ilmu yang Dimiliki
Perjumpaannya dengan Rasulullah menjadi awal mula perjalanan keilmuan beliau. Semasa Rasulullah hidup, Abu Musa banyak meraup ilmu darinya. Sekian banyak hadits beliau hafal dari Nabi. Abu Musa pun menjadi salah satu dari sedikit shahabat Nabi yang memberikan fatwa di masjid pada masa Rasulullah, selain ‘Umar, ‘Ali, dan Mu’adz bin Jabal. Tak berhenti sampai di sini, keilmuan beliau semakin cemerlang dengan mengambilnya dari para shahabat senior. Di antaranya beliau memperoleh ilmu dari Abu Bakr, ‘Umar, Mu’adz dan Ubay bin Ka’b. Yang demikian ini menjadikan Abu Musa sebagai seorang yang paham agama, hakim, mufti (pemberi fatwa), serta pengajar ilmu agama.
Kepemimpinan dan Perhatiannya terhadap Pembinaan Umat
Di masa Nabi, Abu Musa bersama Mu’adz menjadi kepercayaan Rasulullah untuk memegang urusan penduduk Zabid dan Aden, Yaman. Di masa Khalifah ‘Umar serta ‘Utsman, Abu Musa dipercaya menjadi gubernur Bashrah dan Kufah. Sebagai seorang pemimpin, Abu Musa adalah sosok yang begitu memerhatikan urusan rakyatnya, terlebih perkara agama mereka. Beliau mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk Bashrah serta memaparkan tentang hukum-hukum Islam. Suatu ketika Abu Musa mengutus Anas bin Malik kepada Khalifah ‘Umar. Lalu bertanyalah ‘Umar kepadanya, “Bagaimana keadaan al-Asy’ari ketika engkau meninggalkannya?” Anas menjawab, “Aku meninggalkannya dalam keadaan beliau mengajarkan al-Qur’an kepada manusia.” ‘Umar lantas memuji hal itu. Pernah pula, Abu Musa mengumpulkan 300 penghapal al-Qur’an. Lalu beliau menyampaikan nasihat, “Sesungguhnya al-Qur’an ini akan bisa menjadi pahala bagi kalian, dan bisa pula menjadi dosa atas kalian. Maka ikutilah al-Qur’an dan jangan sampai al-Qur’an yang mengikuti kalian. Karena barangsiapa yang mengikuti al-Qur’an, maka dia akan memasuki taman-taman Surga dengannya. Dan barangsiapa yang al-Qur’an mengikutinya, maka dia akan terjungkir ke belakang dan terlempar ke dalam neraka.” Maka pantaslah apabila ‘Umar menetapkan masa jabatan bagi Abu Musa selama empat tahun, tidak sebagaimana gubernur lainnya yang hanya menjabat satu tahun. Ketika peristiwa peperangan Shiffin, dengan jiwa kepemimpinan serta keilmuannya, Abu Musa menjadi utusan yang mewakili pihak ‘Ali bin Abi Thalib untuk melakukan perundingan.
Kiprahnya dalam Jihad Fi Sabilillah
Jiwa kepemimpinan memang lekat pada pribadinya. Berpadu dengan keberanian yang lahir dari kebenaran iman, menjadikan beliau sosok pemimpin dalam medan jihad fi sabilillah. Banyak pertempuran beliau ikuti, ketika Rasulullah masih hidup, berlanjut pada masa-masa khalifah beliau. Baik peran sebagai pemimpin pasukan, ataupun aksi perseorangan di tengah medan pertempuran. Pada suatu hari, sepulang dari pertempuran dan kembali kepada Nabi, beliau mendoakan Abu Musa dengan doa yang agung, “Ya Allah, ampunilah dosa ‘Abdullah bin Qais, dan masukkanlah dia pada hari kiamat di tempat yang mulia” Di masa Khalifah ‘Umar, Abu Musa terjun memimpin berbagai penaklukan negeri-negeri. Beliau berhasil menaklukkan Asfahan, Tustar, dan selainnya.
Upaya dalam Menjaga Kemurnian Nilai-nilai Islam
Sebuah faedah dari perjalanan beliau menaklukkan negeri Tustar, dengan ditemukannya jasad yang diyakini oleh mereka sebagai jasad Nabi Danial di atas sebuah keranda. Bangsa Persia menyimpan jasad beliau selama 300 tahun. Dahulu, mereka menawan Nabi Danial hingga tiba ajalnya. Tidak ada yang berubah dari jasadnya kecuali beberapa helai rambut di tengkuknya. Adapun panjang hidung beliau berukuran sejengkal. Bangsa Persia biasa memohon pertolongan agar turun hujan kala musim kemarau dengan mengeluarkan keranda beserta jasad Nabi Danial tersebut. ‘Umar pun menginstruksikan agar jasadnya dikuburkan untuk menghilangkan kebiasaan Bangsa Persia tersebut. Maka Abu Musa memerintahkan 13 tawanan agar menggali lubang di dasar sungai pada tiga belas tempat berbeda. Lalu pada malam hari jasad Nabi Danial dikubur pada salah satu lubang, selanjutnya seluruh lubang tersebut diratakan. Demikian ini agar makamnya tidak diketahui oleh umat manusia. Sebagaimana telah maklum, bahwa ritual-ritual yang tidak syar’i banyak terjadi lantaran pengagungan yang berlebihan terhadap orang-orang shalih baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Sungguh, demikian besar penjagaan generasi terdahulu umat ini terhadap hal yang demikian. Tak hanya dalam permasalahan ini. Abu Musa juga bersemangat menjaga kemurnian ajaran Rasulullah. Suatu hari, beliau mendapati didalam masjid terdapat kelompok-kelompok orang yang duduk menunggu shalat. Pada setiap kelompok ada satu orang yang memimpin, sementara masing-masingnya memegang batu-batu kerikil guna memudahkan hitungan bacaan dzikir. Lalu orang tersebut memberikan aba-aba kepada yang lain untuk bertakbir, bertahlil, serta bertasbih masing-masing 100 kali. Lalu terbetik pengingkaran dalam hati Abu Musa. Beliaupun tak tinggal diam, didatanginya shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud yang beliau pandang lebih berilmu. Sebuah adab yang mulia. Hingga akhirnya, dengan tegas Ibnu Mas’ud mengingkari amalan yang mereka lakukan. Sebuah bentuk amalan baru dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah.
Abu Musa, Pribadi yang Bertaqwa
Telah terkumpul banyak keutamaan pada diri Abu Musa. Lebih dari itu, beliau adalah seorang yang memiliki ketakwaan. Hari-hari beliau berhias dengan sifat-sifat dan amalan yang mulia. Beliau adalah seorang yang tidak silau terhadap dunia, tidak pula berubah walaupun kekuasaan berada di tangannya. Tatkala jabatan sebagai gubernur Bashrah telah berakhir, beliau hanya membawa enam ratus dirham yang merupakan pemberian nafkah untuknya. Abu Musa adalah hamba Allah yang banyak beribadah. Sampaipun dalam suatu pertempuran, di sebuah kebun yang telah hancur tatkala malam telah larut, Abu Musa berdiri untuk shalat, lalu bermunajat kepada Allah. Beliau juga banyak berpuasa, dan hampir tak pernah beliau ditemui pada hari yang panas, kecuali dalam keadaan berpuasa.
Akhir Hayat Beliau
Sebelum meninggal, Abu Musa demikian bersungguh-sungguh dalam beribadah. Disarankan kepadanya agar menahan diri dan mengurangi porsi ibadahnya. Namun beliau menjawab, “Sesungguhnya sekawanan kuda apabila engkau lepaskan dan telah mendekati titik akhir, maka dia akan mengerahkan seluruh yang dimilikinya. Adapun yang tersisa dari umurku adalah lebih pendek dari itu.” Akhirnya, beliau pun wafat di kota Mekkah pada tahun 52 H. Semoga Allah meridhainya.
Wallahu a’lamu bishshawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Hadi
______________________________
Sumber; buletin-alilmu.net
Para pembaca rahimakumullah.
Mungkin, kita semua telah tahu, bahwa hati yang baik lagi bersih akan memunculkan keelokan pada lahiriah pemiliknya. Di dalamnya tersimpan ketulusan niat, keikhlasan yang memancarkan cahaya kebaikan. Menjadi baguslah amalan yang terlahir darinya. Demikianlah kiranya, gambaran seorang shahabat mulia, Abu Musa al-Asy’ari. Kebenaran iman yang menghiasi sanubarinya mewujud dalam pribadinya yang shalih. Sosok pemimpin yang taat beribadah, banyak berpuasa, berilmu, sekaligus pendidik sejati. Sekelumit dari rangkaian kehidupannya terangkum dalam tulisan berikut ini.
Abu Musa, Pemilik Suara yang Merdu
Beliau bernama ‘Abdullah bin Qais al-Asy’ari at-Tamimi. Beliau dilahirkan di daerah Zabid, Yaman. Ibunya adalah Zhabyah bintu Wahb yang masuk Islam dan kemudian meninggal di Madinah. Abu Musa seorang yang bertubuh pendek, ramping dan tidak lebat jenggotnya. Beliau termasuk salah seorang shahabat yang mahir dalam membaca al-Qur’an. Di antara kelebihan yang Allah berikan kepada beliau adalah suara yang sangat indah. Rasulullah bersabda tentangnya, “Sungguh Abu Musa telah diberi satu seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.” Pernah suatu malam, Abu Musa melantunkan bacaan al-Qur’an dengan merdunya. Bangkitlah istri-istri Rasulullah mendengarkan bacaan Abu Musa. Pagi harinya, dikabarkan hal itu kepada Abu Musa. Beliaupun berujar, “Kalau saja aku mengetahui hal itu, niscaya aku akan perbagus dengan bacaan yang indah.” Di masa Khalifah ‘Umar, beliau seringkali meminta kepada Abu Musa, “Ingatkanlah kami wahai Abu Musa!” atau, “Buatlah kami rindu kepada Rabb kami!”. Maka Abu Musa membacakan al-Qur’an dengan alunan yang demikian merdu.
Kisah Keislamannya
Asy’ariyyun adalah sebuah kaum yang berasal dari negeri Yaman. Abu Musa al-Asy’ari datang ke Mekkah dan di sanalah beliau mendapatkan hidayah Islam. Lalu beliau kembali ke negerinya. Hingga akhirnya beliau bersama 50 orang lebih dari kaumnya yang telah berislam pergi meninggalkan negeri mereka. Di tengah perjalanan, kapal yang mereka naiki terbawa angin hingga mengantarkan mereka ke Habasyah. Di sanalah kemudian kaum Asy’ariyyun ini bergabung dengan Ja’far bin Abi Thalib dan para shahabat lainnya. Kemudian, bersama-sama mereka berhijrah ke Madinah. Sebelum kedatangan Asy’ariyyun ke Madinah, Rasulullah bersabda, “Besok akan datang kepada kalian suatu kaum yang lebih lembut hatinya terhadap Islam daripada kalian.” Lalu datanglah mereka, di antaranya Abu Musa. Tatkala mereka telah dekat ke Madinah, merekapun mendendangkan syair, “Besok kita akan bertemu orang-orang tercinta, Muhammad dan golongannya.” Setibanya di Madinah, mereka pun melakukan jabat tangan. Dan mereka inilah yang awal kali melakukan dan mengenalkan jabat tangan.
Kedalaman Ilmu yang Dimiliki
Perjumpaannya dengan Rasulullah menjadi awal mula perjalanan keilmuan beliau. Semasa Rasulullah hidup, Abu Musa banyak meraup ilmu darinya. Sekian banyak hadits beliau hafal dari Nabi. Abu Musa pun menjadi salah satu dari sedikit shahabat Nabi yang memberikan fatwa di masjid pada masa Rasulullah, selain ‘Umar, ‘Ali, dan Mu’adz bin Jabal. Tak berhenti sampai di sini, keilmuan beliau semakin cemerlang dengan mengambilnya dari para shahabat senior. Di antaranya beliau memperoleh ilmu dari Abu Bakr, ‘Umar, Mu’adz dan Ubay bin Ka’b. Yang demikian ini menjadikan Abu Musa sebagai seorang yang paham agama, hakim, mufti (pemberi fatwa), serta pengajar ilmu agama.
Kepemimpinan dan Perhatiannya terhadap Pembinaan Umat
Di masa Nabi, Abu Musa bersama Mu’adz menjadi kepercayaan Rasulullah untuk memegang urusan penduduk Zabid dan Aden, Yaman. Di masa Khalifah ‘Umar serta ‘Utsman, Abu Musa dipercaya menjadi gubernur Bashrah dan Kufah. Sebagai seorang pemimpin, Abu Musa adalah sosok yang begitu memerhatikan urusan rakyatnya, terlebih perkara agama mereka. Beliau mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk Bashrah serta memaparkan tentang hukum-hukum Islam. Suatu ketika Abu Musa mengutus Anas bin Malik kepada Khalifah ‘Umar. Lalu bertanyalah ‘Umar kepadanya, “Bagaimana keadaan al-Asy’ari ketika engkau meninggalkannya?” Anas menjawab, “Aku meninggalkannya dalam keadaan beliau mengajarkan al-Qur’an kepada manusia.” ‘Umar lantas memuji hal itu. Pernah pula, Abu Musa mengumpulkan 300 penghapal al-Qur’an. Lalu beliau menyampaikan nasihat, “Sesungguhnya al-Qur’an ini akan bisa menjadi pahala bagi kalian, dan bisa pula menjadi dosa atas kalian. Maka ikutilah al-Qur’an dan jangan sampai al-Qur’an yang mengikuti kalian. Karena barangsiapa yang mengikuti al-Qur’an, maka dia akan memasuki taman-taman Surga dengannya. Dan barangsiapa yang al-Qur’an mengikutinya, maka dia akan terjungkir ke belakang dan terlempar ke dalam neraka.” Maka pantaslah apabila ‘Umar menetapkan masa jabatan bagi Abu Musa selama empat tahun, tidak sebagaimana gubernur lainnya yang hanya menjabat satu tahun. Ketika peristiwa peperangan Shiffin, dengan jiwa kepemimpinan serta keilmuannya, Abu Musa menjadi utusan yang mewakili pihak ‘Ali bin Abi Thalib untuk melakukan perundingan.
Kiprahnya dalam Jihad Fi Sabilillah
Jiwa kepemimpinan memang lekat pada pribadinya. Berpadu dengan keberanian yang lahir dari kebenaran iman, menjadikan beliau sosok pemimpin dalam medan jihad fi sabilillah. Banyak pertempuran beliau ikuti, ketika Rasulullah masih hidup, berlanjut pada masa-masa khalifah beliau. Baik peran sebagai pemimpin pasukan, ataupun aksi perseorangan di tengah medan pertempuran. Pada suatu hari, sepulang dari pertempuran dan kembali kepada Nabi, beliau mendoakan Abu Musa dengan doa yang agung, “Ya Allah, ampunilah dosa ‘Abdullah bin Qais, dan masukkanlah dia pada hari kiamat di tempat yang mulia” Di masa Khalifah ‘Umar, Abu Musa terjun memimpin berbagai penaklukan negeri-negeri. Beliau berhasil menaklukkan Asfahan, Tustar, dan selainnya.
Upaya dalam Menjaga Kemurnian Nilai-nilai Islam
Sebuah faedah dari perjalanan beliau menaklukkan negeri Tustar, dengan ditemukannya jasad yang diyakini oleh mereka sebagai jasad Nabi Danial di atas sebuah keranda. Bangsa Persia menyimpan jasad beliau selama 300 tahun. Dahulu, mereka menawan Nabi Danial hingga tiba ajalnya. Tidak ada yang berubah dari jasadnya kecuali beberapa helai rambut di tengkuknya. Adapun panjang hidung beliau berukuran sejengkal. Bangsa Persia biasa memohon pertolongan agar turun hujan kala musim kemarau dengan mengeluarkan keranda beserta jasad Nabi Danial tersebut. ‘Umar pun menginstruksikan agar jasadnya dikuburkan untuk menghilangkan kebiasaan Bangsa Persia tersebut. Maka Abu Musa memerintahkan 13 tawanan agar menggali lubang di dasar sungai pada tiga belas tempat berbeda. Lalu pada malam hari jasad Nabi Danial dikubur pada salah satu lubang, selanjutnya seluruh lubang tersebut diratakan. Demikian ini agar makamnya tidak diketahui oleh umat manusia. Sebagaimana telah maklum, bahwa ritual-ritual yang tidak syar’i banyak terjadi lantaran pengagungan yang berlebihan terhadap orang-orang shalih baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Sungguh, demikian besar penjagaan generasi terdahulu umat ini terhadap hal yang demikian. Tak hanya dalam permasalahan ini. Abu Musa juga bersemangat menjaga kemurnian ajaran Rasulullah. Suatu hari, beliau mendapati didalam masjid terdapat kelompok-kelompok orang yang duduk menunggu shalat. Pada setiap kelompok ada satu orang yang memimpin, sementara masing-masingnya memegang batu-batu kerikil guna memudahkan hitungan bacaan dzikir. Lalu orang tersebut memberikan aba-aba kepada yang lain untuk bertakbir, bertahlil, serta bertasbih masing-masing 100 kali. Lalu terbetik pengingkaran dalam hati Abu Musa. Beliaupun tak tinggal diam, didatanginya shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud yang beliau pandang lebih berilmu. Sebuah adab yang mulia. Hingga akhirnya, dengan tegas Ibnu Mas’ud mengingkari amalan yang mereka lakukan. Sebuah bentuk amalan baru dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah.
Abu Musa, Pribadi yang Bertaqwa
Telah terkumpul banyak keutamaan pada diri Abu Musa. Lebih dari itu, beliau adalah seorang yang memiliki ketakwaan. Hari-hari beliau berhias dengan sifat-sifat dan amalan yang mulia. Beliau adalah seorang yang tidak silau terhadap dunia, tidak pula berubah walaupun kekuasaan berada di tangannya. Tatkala jabatan sebagai gubernur Bashrah telah berakhir, beliau hanya membawa enam ratus dirham yang merupakan pemberian nafkah untuknya. Abu Musa adalah hamba Allah yang banyak beribadah. Sampaipun dalam suatu pertempuran, di sebuah kebun yang telah hancur tatkala malam telah larut, Abu Musa berdiri untuk shalat, lalu bermunajat kepada Allah. Beliau juga banyak berpuasa, dan hampir tak pernah beliau ditemui pada hari yang panas, kecuali dalam keadaan berpuasa.
Akhir Hayat Beliau
Sebelum meninggal, Abu Musa demikian bersungguh-sungguh dalam beribadah. Disarankan kepadanya agar menahan diri dan mengurangi porsi ibadahnya. Namun beliau menjawab, “Sesungguhnya sekawanan kuda apabila engkau lepaskan dan telah mendekati titik akhir, maka dia akan mengerahkan seluruh yang dimilikinya. Adapun yang tersisa dari umurku adalah lebih pendek dari itu.” Akhirnya, beliau pun wafat di kota Mekkah pada tahun 52 H. Semoga Allah meridhainya.
Wallahu a’lamu bishshawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Hadi
______________________________
Sumber; buletin-alilmu.net