Pada suatu malam menjelang akhir 2011, saya memulai perjalanan sepanjang lebih dari 300 km. Persiapannya matang. Fisik dan mental. Fisik karena jauhnya perjalanan, dan mental karena saya hendak menghadiri pemakaman ayah istri saya tercinta. Sepotong malam yang panjang dan melelahkan. Dalam perjalanan itu saya membawa serta semua keluarga. Istri saya yang ayahnya berpulang menjelang maghrib hari itu, bersama si sulung yang beranjak remaja, beserta ketiga adiknya. Sepanjang jalan, istri saya hanya membisu sesekali mengusap beningnya air yang membasahi pipinya. Terpukul karena tidak sempat merawat ayahandanya ketika sakit, kemudian takdir mendahului cita-citanya. Dan itu membuat kedua bola matanya tak mampu terpejam. Demikianlah ketika seorang anak kehilangan ayahnya..
Alhamdulillah, Allah memberi kemudahan dan kelancaran dalam perjalanan. Langit di ufuk timur mulai memerah sementara tujuan masih beberapa jam lagi. Lirih terdengar seruan "Allahu akbar, Allahu akbar." Adzan subuh.. Kami berhenti pada sebuah halaman masjid yang mungil. Saya mulai membangunkan anak-anak, sementara istri sudah bersegera mengambil air wudhu. Si sulung tiba-tiba saja menangis, karena salah satu adiknya tidak mau bangun. Innaa lillaah wa innaa ilaihi raaji'un. Anak kedua saya ternyata menyusul kakeknya. Saya tercekat. Waktu serasa berhenti. Lidah kelu, tak mampu berucap. Kepala saya tiba-tiba saja serasa penuh. Bagaimana saya menyampaikan kepada istri saya yang beberapa detik lagi menghampiri anaknya yang tinggal jasad tak bernyawa..?! Apa pula yang akan terjadi, setelah baru saja ditinggal ayahnya kemudian menyusul pula anaknya..?! Kehilangan dua orang yang dicintainya sekaligus. Subhanallah.. Wa laa haula walaa quwwata illaa billaah.. Manusia memang lemah, tapi Allah memberi kekuatan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Kami bersegera shalat, dan kemudian melanjutkan perjalanan.. Jadilah di hari itu kami mensholati dan memakamkan dua jenazah ; ayah istri saya, dan anak kami.
Pembaca majalah Tashfiyah, mudah-mudahan rahmat Allah selalu melingkupi. Kita tahu, kematian itu kadang menyergap dengan tiba-tiba. Istri saya tidak menyangka ayahnya akan pergi secepat itu. Karena beliau sehat sebelumnya. Meski usia sudah berkepala tujuh, namun masih sigap dan bersemangat untuk merawat sawah ladangnya dan menghidupi anak istri dan cucu-cucunya. Anak saya apalagi.. Berangkat dalam keadaan sehat, namun wafat di tengah perjalanan. Sahabatku, jika kita jujur pastilah kita semua takut menghadapi kematian. Mengapa? Karena kita belum siap. Karena kebaikan kita sangat tipis dibandingkan dengan tebalnya keburukan kita. Karena saat-saat tersingkapnya amalan akan segera hadir di hadapan kita. Dusta, kebohongan, rekayasa, kepalsuan dan pura-pura tidak akan bisa kita lakukan lagi di saat itu. Kalau saat ini hampir semua bisa dibeli dengan uang kita, hari itu hanya iman yang dibutuhkan. Tak ada lagi teman yang layak untuk disanding, kecuali amalan shalih.
Pembaca, maafkan jika sejenak anda jadi tertegun. Karena saya juga demikian. Saya bukan sedang mengajak berputus harapan dan bersedih karena minimnya bekal kita untuk hadapi datangnya maut. Jujur saya takut banget. Tapi mau tak mau kita semua akan melintasi masa itu. Berpindah dari dunia saat ini menuju alam barzakh dan berjalan terus menuju hari akhir. Cepat atau lambat. Dan justru saat inilah saat yang terbaik. Saat kaki masih mencercah bumi. Kita bisa mengumpulkan apa saja semau kita untuk bekal menghadap Allah. Kalau selama ini dunia menyihir kita dengan gemerlap perhiasannya, maka sekaranglah waktu untuk bangkit bangun dan berlari menghindar dari kepalsuan sihirnya. Kita boleh kok, sibuk dengan dunia asalkan tidak melalaikan akhirat kita. Firman Allah, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77)
Sahabatku, jangan murung. Ada sedikit hiburan untuk kita. Bahwa sekecil apapun surga buat kita kelak, luasnya melebihi dunia seisinya. Mungkin selama ini kita banyak berbuat dosa dan kelalaian. Menumpuk maksiat, menimba kekotoran. Namun ingatlah, Allah rabb kita adalah dzat yang maha memberi ampunan. Dia dermawan. Ketika malam selalu mengampuni manusia yang berbuat dosa di pagi hari. Ketika pagi mengampuni mereka yang bermaksiat di malam hari. Untuk itu, kerjakan yang terbaik. Jangan berhenti berjuang untuk menadah tangan menghiba ampunan. Sungguh, hari terbaik kita adalah ketika tangan ini kembali dalam penuh maghfirah.. Jangan biarkan diri ini terus tersungkur dalam lembah gulita dosa dan maksiat. Sesekali, bangunlah di malam sunyi. Menangis menyesali dosa dan kekotoran diri. Menangis karena takut kepada Sang Pemilik Ampunan. Karena air mata kita yang mengalir itu hangat. Tapi hangatnya, mampu menjauhkan seorang hamba dari api neraka. Rasulullaah menjelaskan,
عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهَمَا النَّارُ أَبَداً : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ، وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
Apa jadinya jika diri ini tak mendapat maaf-Nya. Pastilah kerugian yang kan menanti. Rabbanaa dhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin.. Wahai tuhanku, kami ini dhalim terhadap diri.. Sekiranya Engkau tak ampuni kami, tak sayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi..
Sahabat Tashfiyah, kemuliaan seorang hamba tidaklah datang begitu saja kepada mereka yang berpangku tangan dan berleha-leha. Semua nabi dan rasul beserta orang-orang sukses yang menyertai mereka adalah pejuang tangguh. Mereka melewati pahit getirnya kehidupan untuk meretas jalan menuju puncak kenikmatan abadi. Mudah-mudahan Allah bimbing kita dan karuniakan kepada kita kekuatan untuk mengepul bekal buat menapak hari-hari abadi. Yang sehari pada waktu itu setara dengan seribu hari di saat ini. Nas alullaah as-salaamah wal 'aafiyah..
[rubrik motivasi Majalah Tashfiyah edisi 25]
source: Abu Ubaidillah