Pada suatu senja di hari raya, teman istri saya kehilangan dua orang yang dicintainya sekaligus ; ayah dan suaminya. Mereka berdua wafat karena kecelakaan. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun, bagaimanakah perasaan teman istri saya itu? Seperti apa luka hatinya? Apa saja yang tergambar di pikirannya? Mana si bungsu juga masih dalam buaiannya. Selang beberapa waktu kemudian, teman istri saya ini menyusul suami dan ayahandanya dengan cara yang hampir sama, bersama si bungsu. Ya, si bungsu ikut wafat dalam gendongan selendang bundanya ketika kecelakaan merenggut keduanya. Rahimahullah. Semoga Allah melimpahkan kasih sayangnya untuk mereka.
Sungguh, saya benar-benar tidak bisa membayangkan, bagaimana situasi di rumah teman istri saya pada masa-masa itu. Anak-anak yang baru tumbuh, baru saja ditinggal ayahnya, sebentar kemudian ditinggal ibunya. Terpikir sulitnya hidup tanpa kedua orangtua, menumbuhkan dan membesarkan diri sendiri yang baru sesaat merasakan manisnya pelukan kasih sayang orangtuanya.
Tapi ternyata dibalik sebuah musibah, Allah menyimpan rahasia hikmah yang besar. Saat ini, putra-putri teman istri saya itu berada dalam asuhan kasih sayang yang lebih hangat. Dalam lingkupan tarbiyah sunnah yang lebih bagus. Dan dalam lingkungan harumnya aroma religius yang menentramkan.
Pembaca Tashfiyah, itulah hidup. Kadang ia berjalan tidak sesuai dengan harapan seorang hamba. Tapi siapa sangka, dibalik setiap perjalanan hidup seseorang, sepahit apapun kisahnya, tersimpan mutiara hikmah yang indah. Kadang terungkap dan kebanyakannya terus tersimpan rapi menjadi rahasia, yang kelak dapat dipetik sebagai syafaat di akhirat.
Setiap anak Adam, tentu pernah merasakan kisah hidup yang pahit, susah, dan prihatin. Dan juga tentu pernah mengalami masa-masa keemasan, masa indah dan penuh kebahagiaan. Takdir Allah memang nggak bisa kita tolak. Hanya saja, ketika takdir yang bagus menimpa, kadang kita lupa bersyukur. Sedangkan ketika sedikit saja takdir buruk menghampiri, keluhan kita luar biasa. Merasa diri paling merana. Merasa diri paling celaka. Pokoknya nggak ada orang yang lebih sengsara daripada kita. Iya, kan ?!
Kenapa hal itu bisa terjadi ? Karena kita kurang bersabar. Karena kita kurang pintar membaca situasi. Coba saja ketika musibah menimpa diri kita, tengok sekeliling kita sebentar. Sungguh, kita akan menemukan banyak orang yang tidak seberuntung kita. Kalau kita selalu makan tiga kali sehari, di luar sana ada yang hanya makan tiga hari sekali. Kalau kita selalu bisa berkendaraan untuk pergi kemana-mana, maka banyak orang yang hanya bisa berjalan kaki. Kalau kita hanya flu dan pilek, masuk angin, atau seberat-beratnya typus, maka coba sambangi rumah sakit. Akan banyak kita temukan disana manusia-manusia yang lebih buruk keadaannya daripada keadaan kita. Manusia yang hanya bisa tergolek lemah nggak bisa apa-apa. Di bangsal maupun di paviliun. Usia lanjut, maupun mereka yang masih belia. Ada yang hanya bisa menggerakkan bibirnya saja sebagai isyarat tanpa suara, ada pula yang meronta sekuat tenaga hendak melepaskan diri dari pasungan tali yang mengikat tangan dan kaki.
Saudaraku, sebagaimana amalan hati lainnya, sabar juga mudah diucapkan lisan namun berat di amalkan. Semua permasalahan besar hidup manusia berawal dari sini. Perceraian, keluarga yang tidak harmonis, anak-anak nggak terurus, usaha yang berantakan, permusuhan sampai tujuh turunan, pekerjaan yang haram, perzinaan, sampai pembunuhan, semuanya terjadi dengan sebab karena kurangnya kesabaran dalam jiwa manusia.
Manusia suka berkeluh kesah. Ini perkara biasa, karena Allah memang membubuhi jiwa manusia dengan sifat tersebut. Namun, Allah juga telah memberikan rambu dan aturan syariat. Maka, tidak mengeluh adalah tidak mungkin. Hanya saja, ketika mengeluh, siapa yang menjadi tempat kita mengadu, itulah permasalahannya !! Adukan semua keluh kesah hanya kepada Allah. Merintih dan menangis, hanya kepada Allah. Kalau tidak, kepada siapa lagi?! Menulisnya di beranda Facebook?! Tindakan bodoh. Banyak orang, bahkan sudah tahu dien (agama), tapi kesibukannya justru menuliskan hampir semua permasalahannya di beranda facebook-nya. Lupa dengan sholat malamnya, alpa dengan munajatnya, lalai dengan dzikirnya sebagai bentuk permohonannya kepada Allah, untuk lepas dari permasalahan hidupnya. Ini berbahaya. Karena menjangkiti kebanyakan pemuda, calon pengganti generasi senior kita. Kalau yang tahu dien saja seperti itu sikapnya dalam menghadapi hidup, bagaimana dengan mereka yang belum tersentuh dien?!
Saudaraku, sikap sabar tidak semata-mata bisa kita usahakan begitu saja. Dengan tiba-tiba saja seorang yang tadinya selalu tergopoh-gopoh menghadapi hidupnya bisa langsung menjadi seorang yang penyabar. Sabar itu rezeki besar yang turun dari langit. Dianugerahkan oleh Dzat yang Maha Mulia. Allah membimbing hamba-Nya untuk berdoa memohon kesabaran;
"Ya Allah, Rabb kami, tuangkanlah atas diri kami kesabaran, kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami dari gangguan orang-orang-kafir." [QS. Al-Baqarah ; 250]
Musibah itu datang tanpa kita duga sebelumnya. Tiba-tiba saja menyergap di hadapan kita. Dan dia akan pergi sendiri seiring dengan berjalannya waktu atas izin Allah. Yang terpenting adalah mengunci lisan kita, agar tidak mengeluh kepada selain Allah. Kuncilah dengan taqwa. Kurunglah hawa nafsu agar tidak mudah mengeluh kepada sesama.
Ya, bolehlah sekedar menangis sambil mengeluarkan isi hati kepada istri atau suami, kepada orangtua atau sahabat terpercaya. Tanpa mengumbarnya kepada setiap yang punya telinga. Percayalah, bahwa musibah masing-masing hamba sesuai dengan kadar keimanannya. Juga sekedar "kebutuhan" hamba tersebut terhadap suatu musibah. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah berdoa, memohon kesabaran dan kekuatan menahan lisan kepada Allah. Hati boleh bersedih, mata boleh berlinang berkaca-kaca, tapi lisan kita tidak boleh berbicara kecuali yang Allah ridhai.
Semoga kita senantiasa terlimpah kasih sayang dari Allah. Selalu istiqomah dalam memegang ikatan janji kita kepada-Nya. Dan, meski kita tertatih berjalan diatas jalan panjang untuk mencapai puncak kemuliaan, kita nggak peduli apakah akhirnya nanti akan sampai atau tidak. Yang penting, saat ruh berpisah dengan raga, kita masih berjalan diatas jalan ini. Jalan Allah dan Rasul-Nya. Hanya kepada Alloh-lah kita memohon pertolongan dan keselamatan.
[Eko Prastowo]
_____________________________________________
sumber : majalah Tashfiyah edisi 23 vol 02 1434H/2013M
Sungguh, saya benar-benar tidak bisa membayangkan, bagaimana situasi di rumah teman istri saya pada masa-masa itu. Anak-anak yang baru tumbuh, baru saja ditinggal ayahnya, sebentar kemudian ditinggal ibunya. Terpikir sulitnya hidup tanpa kedua orangtua, menumbuhkan dan membesarkan diri sendiri yang baru sesaat merasakan manisnya pelukan kasih sayang orangtuanya.
Tapi ternyata dibalik sebuah musibah, Allah menyimpan rahasia hikmah yang besar. Saat ini, putra-putri teman istri saya itu berada dalam asuhan kasih sayang yang lebih hangat. Dalam lingkupan tarbiyah sunnah yang lebih bagus. Dan dalam lingkungan harumnya aroma religius yang menentramkan.
Pembaca Tashfiyah, itulah hidup. Kadang ia berjalan tidak sesuai dengan harapan seorang hamba. Tapi siapa sangka, dibalik setiap perjalanan hidup seseorang, sepahit apapun kisahnya, tersimpan mutiara hikmah yang indah. Kadang terungkap dan kebanyakannya terus tersimpan rapi menjadi rahasia, yang kelak dapat dipetik sebagai syafaat di akhirat.
Setiap anak Adam, tentu pernah merasakan kisah hidup yang pahit, susah, dan prihatin. Dan juga tentu pernah mengalami masa-masa keemasan, masa indah dan penuh kebahagiaan. Takdir Allah memang nggak bisa kita tolak. Hanya saja, ketika takdir yang bagus menimpa, kadang kita lupa bersyukur. Sedangkan ketika sedikit saja takdir buruk menghampiri, keluhan kita luar biasa. Merasa diri paling merana. Merasa diri paling celaka. Pokoknya nggak ada orang yang lebih sengsara daripada kita. Iya, kan ?!
Kenapa hal itu bisa terjadi ? Karena kita kurang bersabar. Karena kita kurang pintar membaca situasi. Coba saja ketika musibah menimpa diri kita, tengok sekeliling kita sebentar. Sungguh, kita akan menemukan banyak orang yang tidak seberuntung kita. Kalau kita selalu makan tiga kali sehari, di luar sana ada yang hanya makan tiga hari sekali. Kalau kita selalu bisa berkendaraan untuk pergi kemana-mana, maka banyak orang yang hanya bisa berjalan kaki. Kalau kita hanya flu dan pilek, masuk angin, atau seberat-beratnya typus, maka coba sambangi rumah sakit. Akan banyak kita temukan disana manusia-manusia yang lebih buruk keadaannya daripada keadaan kita. Manusia yang hanya bisa tergolek lemah nggak bisa apa-apa. Di bangsal maupun di paviliun. Usia lanjut, maupun mereka yang masih belia. Ada yang hanya bisa menggerakkan bibirnya saja sebagai isyarat tanpa suara, ada pula yang meronta sekuat tenaga hendak melepaskan diri dari pasungan tali yang mengikat tangan dan kaki.
Saudaraku, sebagaimana amalan hati lainnya, sabar juga mudah diucapkan lisan namun berat di amalkan. Semua permasalahan besar hidup manusia berawal dari sini. Perceraian, keluarga yang tidak harmonis, anak-anak nggak terurus, usaha yang berantakan, permusuhan sampai tujuh turunan, pekerjaan yang haram, perzinaan, sampai pembunuhan, semuanya terjadi dengan sebab karena kurangnya kesabaran dalam jiwa manusia.
Manusia suka berkeluh kesah. Ini perkara biasa, karena Allah memang membubuhi jiwa manusia dengan sifat tersebut. Namun, Allah juga telah memberikan rambu dan aturan syariat. Maka, tidak mengeluh adalah tidak mungkin. Hanya saja, ketika mengeluh, siapa yang menjadi tempat kita mengadu, itulah permasalahannya !! Adukan semua keluh kesah hanya kepada Allah. Merintih dan menangis, hanya kepada Allah. Kalau tidak, kepada siapa lagi?! Menulisnya di beranda Facebook?! Tindakan bodoh. Banyak orang, bahkan sudah tahu dien (agama), tapi kesibukannya justru menuliskan hampir semua permasalahannya di beranda facebook-nya. Lupa dengan sholat malamnya, alpa dengan munajatnya, lalai dengan dzikirnya sebagai bentuk permohonannya kepada Allah, untuk lepas dari permasalahan hidupnya. Ini berbahaya. Karena menjangkiti kebanyakan pemuda, calon pengganti generasi senior kita. Kalau yang tahu dien saja seperti itu sikapnya dalam menghadapi hidup, bagaimana dengan mereka yang belum tersentuh dien?!
Saudaraku, sikap sabar tidak semata-mata bisa kita usahakan begitu saja. Dengan tiba-tiba saja seorang yang tadinya selalu tergopoh-gopoh menghadapi hidupnya bisa langsung menjadi seorang yang penyabar. Sabar itu rezeki besar yang turun dari langit. Dianugerahkan oleh Dzat yang Maha Mulia. Allah membimbing hamba-Nya untuk berdoa memohon kesabaran;
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Musibah itu datang tanpa kita duga sebelumnya. Tiba-tiba saja menyergap di hadapan kita. Dan dia akan pergi sendiri seiring dengan berjalannya waktu atas izin Allah. Yang terpenting adalah mengunci lisan kita, agar tidak mengeluh kepada selain Allah. Kuncilah dengan taqwa. Kurunglah hawa nafsu agar tidak mudah mengeluh kepada sesama.
Ya, bolehlah sekedar menangis sambil mengeluarkan isi hati kepada istri atau suami, kepada orangtua atau sahabat terpercaya. Tanpa mengumbarnya kepada setiap yang punya telinga. Percayalah, bahwa musibah masing-masing hamba sesuai dengan kadar keimanannya. Juga sekedar "kebutuhan" hamba tersebut terhadap suatu musibah. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah berdoa, memohon kesabaran dan kekuatan menahan lisan kepada Allah. Hati boleh bersedih, mata boleh berlinang berkaca-kaca, tapi lisan kita tidak boleh berbicara kecuali yang Allah ridhai.
Semoga kita senantiasa terlimpah kasih sayang dari Allah. Selalu istiqomah dalam memegang ikatan janji kita kepada-Nya. Dan, meski kita tertatih berjalan diatas jalan panjang untuk mencapai puncak kemuliaan, kita nggak peduli apakah akhirnya nanti akan sampai atau tidak. Yang penting, saat ruh berpisah dengan raga, kita masih berjalan diatas jalan ini. Jalan Allah dan Rasul-Nya. Hanya kepada Alloh-lah kita memohon pertolongan dan keselamatan.
[Eko Prastowo]
_____________________________________________
sumber : majalah Tashfiyah edisi 23 vol 02 1434H/2013M