Sempat dahulu ada yang bertanya sebuah sabda Nabi tentang hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memang pernah menggakmbarkan keadaan manusia kelak di hari berbangkit. Masing-masing sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Ketika matahari didekatkan, ada yang tenggelam oleh keringatnya. Ada yang keringatnya sampai di lutut, di paha, di pinggang dan ada yang tidak terpengaruh.
"Kok bisa, ya? Bukankah semuanya berada pada satu tempat?" begitu tanya orang tersebut.
Sebenarnya, tanya-tanya semacam itu sering terlintas di benak mereka yang belum memahami syari'at Islam secara mendalam. Akal adalah alasan terbesar. Tidak masuk akal, katanya. Bagaimana bisa seperti itu, tambahnya.
Saya sangat terkesan dengan kata-kata seorang ulama besar pada zaman tabi'in. Seorang murid kaum sahabat yang terkenal dengan gelarnya Az Zuhri mengatakan:
“Risalah datang dari Allah. Rasulullah yang menyampaikan sementara tugas kita adalah menerimanya”.
Kata-kata Az Zuhri di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari di dalam Shahihnya
tanpa sanad. Di dalam Fathul Baari, Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa katatelaah kata di atas diucapkan oleh Az Zuhri sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan sebuah sabda Nabi Muhammad. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Al Imam Al Humaidi dan yang lain.
Meresapi kata-kata Az Zuhri di atas, seolah menegaskan tentang akidah seorang muslim yang amat kokoh. Az Zuhri menjelaskan, di manakah posisi seorang hamba di hadapan syari'at Islam. Tunduk, taat, patuh dan menerima! Bukannya bertanya namun hambalah yang harus menjawab pertanyaanpertanyaan Allah di hari kiamat kelak. Apa yang telah ia lakukan di dunia?
Kata-kata Az Zuhri di atas adalah cambuk menggelegar untuk menyadarkan kita, yang mungkin bertanya tentang aturan-aturan Allah berdasarkan akal.
Akal dan Ayat-Ayat Allah
Jauh, jauh sekali sebelum munculnya para pemuja akal, Rasulullah telah menutup celah sesat pikiran karena alasan akal. Kaum filsafat yang menggunakan teori alam pikiran dan logika, pada dasarnya memang tidak mengakui Al Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pikir dan pondasi keyakinan.
Secara saksama, marilah kita renungkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini.Di dalam sebuah hadits dari sahabat Abu Hurairah riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setan datang kepada salah seorang di antara kalian lalu membisikkan, ’Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu, ’sampai akhirnya setan membisikkan ,siapa yang menciptakan Tuhanmu?.‘ Jika sampai pada keadaan semacam ini, hendaknya ia memohon perlindungan kepada Allah dan ia sudahi saja”.
Begitulah setan mempermainkan akal manusia! Dangkal dan pendek sebagai sifat akal manusia coba disusupi oleh was-was setan dengan membisikkan pertanyaan yang banyak berakhir dengan keraguan dan kebingungan. Ia digiring untuk memikirkan dan membayangkan tentang Dzat Allah. Sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia!
Secara khusus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan hal ini. Beliau bersabda di dalam hadits Ibnu Umar yang dihasankan oleh Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihah no.1788:
“Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan jangan berpikir tentang Dzat Allah.”
Akal manusia, menurut sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di atas, semestinya digunakan untuk bertafakkur dan bertadabbur tentang segenap nikmat yang Allah curahkan untuknya. Keteraturan alam semesta, keindahan dan kesempurnaan angkasa raya, macam-macam makhluk dengan berbagai fungsi dan manfaatnya, inilah yang harus direnungkan.
Manusia dengan segala keajaiban bentuk dan penciptaannya. Keanekaragaman tumbuhan dan hewan adalah obyek yang harusnya direnungkan oleh akal manusia. Bahwa itu semua menunjukkan wujud Dzat yang maha mengatur, menguasai dan mencipta. Dan Dia-lah yang berhak diibadahi, bukan yang lain!
Al Qadhi 'Iyadh menyebut tafakkur tentang nikmat-nikmat Allah sebagai afdhalul ‘ibadaat. Termasuk ibadah yang paling afdhal. Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita berpikir tentang Dzat Allah? Al Imam Al Munawi (Faidhul Qadiir 3/263) menjawabnya, “Karena akal manusia tidak mampu menjangkau.”
Akal dan Dalil?
Ternyata tidak sedikit juga yang bersikap mengutamakan akal dibandingkan dalil. Walaupun jelas jelas yang disampaikan adalah firman Allah di dalam Al Qur’an atau sabda Rasulullah dalam hadits shahih, masih juga ditolak. Apa alasannya? Tidak masuk akal. Tidak sesuai dengan logika. Atau alasan lain yang sejenis.
Apakah akal harus didahulukan, sementara dalil dipinggirkan? Apakah dalil akan bertentangan dengan akal?
Bisa dikatakan, karya Syaikhul Islam dalam bab ini sebagai tulisan terbaik yang pernah ada. Ada sepuluh jilid buku yang ditulis secara khusus oleh beliau untuk menjelaskan bahwa akal yang sehat tidak mungkin bertentangan dengan dalil. Beliau menamakan karya itu dengan Dar’u Ta’arudhil ‘Aql
wan Naql. Artinya, Mencegah Pertentangan Antara Akal dan Naql (dalil).
Dalam salah satu kesimpulannya, Syaikhul Islam menegaskan: “Wa annal adillatal ‘aqliyyah ash shahiihah, jamii’uhaa muwaafiqatun lis sam’i, laa tukhaalifu syai’an minas sam’i.
” Dan bahwa dalil-dalil akal yang sehat, seluruhnya selaras dengan dalil sam’i (Al Qur’an dan As Sunnah), tidak menyelisihi dalil sam’i sama sekali.(Dar’u Ta’arudh 1/133)
Rinci, detail, akurat, kuat dan kokoh, Syaikhul Islam membahas hal ini di dalam karyanya tersebut. Semua tanya yang rancu-rancu dijawab secara memuaskan oleh beliau dengan ditopang ayat Al Qur’an, hadits shahih dari Nabi dan penjelasan para ulama terdahulu.
Akal sehat tidak mungkin menentang dalil yang shahih!
Misalnya, ditemukan sebuah contoh atau beberapa contoh dalil shahih yang sulit diterima oleh akal, logika manusia? Curigalah kepada akal, bukan terhadap dalil! Lidah orang yang sakit tidak akan menentukan jenis rasa secara benar. Yang manis saja bisa dikatakan pahit, bukan?
Mengapa akal yang harus dicurigai dan disalahkan?
Sebab setiap muslim dididik dan digembleng untuk meyakini bahwa Al Qur’an dan kandungannya adalah kebenaran mutlak, tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Allah berfirman;
Alif laam miim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. [Q.S. Al Baqarah:1-2]
Iya, tidak ada sedikit pun keraguan di dalam dan tentang Al Qur’an. Keraguan yang dinafikan dari Al Qur’an berkonsekuensi lawannya ditetapkan. Dan lawan dari keraguan adalah keyakinan. Oleh sebab itu, Al Qur’an mengandung keyakinan yang menghilangkan keraguan (Tafsir As Sa’di).
Mengapa akal yang harus dicurigai dan disalahkan?
Sebab setiap muslim dididik dan digembleng untuk meyakini bahwa sabda Rasulullah adalah kebenaran mutlak, tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Selama sabda tersebut dapat dibuktikan secara ilmiyah (disiplin ilmu hadits) memang benar diucapkan oleh beliau.
Inilah akidah seorang muslim!
Inilah akidah seorang muslim yang seharusnya kokoh dan kuat sehingga tidak mudah goyah ketika digoda oleh akalnya. Apa bisa? Apa mungkin? Kenapa begitu? Tanya-tanya seperti ini tidak membekas pada akidahnya. Sebab ia yakin, apa pun yang diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pastilah benar!
Tulislah, Wahai Abdullah bin ‘Amr!
Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash tercatat sebagai sahabat yang paling banyak dan sering mencatat sabda-sabda Rasulullah. Kelebihan beliau ini diakui oleh sahabat Abu Hurairah. Beliau menyatakan,
“Tidak ada seorang pun sahabat yang lebih banyak haditsnya dari Rasulullah dibandingkan diriku, kecuali Abdullah bin ‘Amr. Sebab dia mencatat sementara aku tidak.”
Al Imam Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunannya (3646) tentang semangat Abdullah bin ‘Amr untuk mencatat sabda-sabda Nabi.
Hadits yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil ini menceritakan tentang penilaian orang-orang Quraisy terhadap Abdullah bin ‘Amr yang selalu mencatat ucapan Nabi.
“Apakah engkau mencatat semua yang engkau dengar? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu juga manusia biasa. Bisa berbicara ketika marah dan senang,” kata mereka.
Ucapan tersebut membuat Abdullah bin 'Amr sempat terpengaruh dan beliau berhenti dari kegiatan mencatat sabda Nabi. Sampai akhirnya beliau menanyakan hal ini kepada Rasulullah. Apa jawaban Nabi Muhammad?
Sambil memberi isyara ke lisan beliau yang mulia, Rasulullah bersabda;
“Tetaplah engkau mencatat! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada satu patah kata pun yang keluar darinya kecuali pasti kebenaran.”
Inilah akidah seorang muslim!
Seperti inilah seharusnya seorang bersikap! Apapun berita yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, pastilah benar! Perintah apapun yang diputuskan oleh Nabi Muhammad, harus dilaksanakan tanpa ragu. Semua hal yang dilarang oleh beliau, tidak dapat ditawar-tawar. Sebab semua hal itu adalah untuk kepentingan kita sendiri. Untuk kebaikan dan maslahat umat Islam sendiri.
Umar bin Khaththab dan Hudaibiyah
Sekilas, ketika perjanjian Hudaibiyah disepakati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, poinpoinnya sangat merugikan kaum muslimin. Bagaimana bisa seorang muslim yang berhijrah ke kota Madinah harus dipulangkan kembali? Sementara seseorang yang bergabung dengan kaum Quraisy, mereka tidak berkewajiban untuk mengembalikannya?
Wajar saja jika Umar bin Khaththab menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan hal ini.
"Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran sementara mereka dalam kebatilan? Bukankah orang yang terbunuh di antara kita masuk surga, sementara yang terbunuh dari mereka akan masuk neraka? Lalu kenapa kita merendahkan diri di hadapan mereka?"
Begitulah Umar bin Khaththab bersikap ketika itu! Bukan hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , Umar juga menyampaikannya kepada Abu Bakar As Shidiq. Akan tetapi jawaban Rasulullah dan Abu Bakar sama, "Sungguh, wahai Ibnul Khaththab, beliau adalah utusan dari Allah. Allah tidak akan mungkin menyia-nyiakan beliau.”
Terbukti di kemudian hari bahwa perjanjian Hudaibiyah malah menguntungkan kaum muslimin. Selama masa gencatan senjata, dakwah Islam bertambah leluasa tersebar. Tokoh-tokoh Quraisy semacam Khalid bin Walid dan 'Amr bin Al 'Ash masuk Islam. Dan semuanya berakhir dengan penaklukan kota Mekkah.
Luar biasa! Subhanallah!
Pantaslah bila esok waktu Umar bin Khaththab menyesali ucapannya ketika itu. Peristiwa itu pun membekas di benak banyak sahabat, termasuk di antaranya adalah Sahl bin Hunaif ketika terjadi perang Shiffin. Kata beliau sambil mengenang perjanjian Hudaibiyah, "Curigailah akal pikiran kalian terhadap agama ini!"
Anti Iblis?
Mengikutkan kemauan sendiri dan tidak tunduk menerima dalil Al Qur’an maupun As Sunnah adalah karakter Iblis, si raja kejahatan. Tentunya kita masih akan selalu teringat kisah penciptaan ayah manusia, Adam bersama ibunda Hawa. Saat itu Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepadanya. Namun Iblis menolak. Ia membangkang. Ia durhaka. Apa katanya?
"Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". [Q.S. Al-A’raf:12]
Dan seperti itulah kondisi para pemuja akal! Ia telah mengikuti jejak Iblis, disadari maupun tidak. Pertanyaannya adalah apa hak kita sebagai makhluk untuk mempertanyakan aturan-aturan Allah? Kenapa manusia bersikap lancang dengan lebih mengikuti akal dibandingkan firman Allah dan sabda Rasul-Nya? Aneh.
Na’udzu billah min dzalik.
Sebagai penutup alangkah indahnya jika kita mengingat kembali kata-kata Az Zuhri di atas.
“Risalah datang dari Allah. Rasulullah yang menyampaikan sementara tugas kita adalah menerimanya”.
Wallahul muwaffiq ila aqwamis sabil. [Al Ustadz Abu Nasim Muktar Bin Rifai]
Sumber: Majalah Thasfiyah Edisi 34 Vol.03 1435H-2014M