Membahas secara ilmiah jauh beda dengan mencerca dan sekedar mengolok-olok. Membahas secara ilmiah selalu ada solusi ada faedah ada nasehat meski tersirat.. Penulisnya selalu memilih kata-kata yang hendak dituangkan. Dibaca lagi dan dibaca lagi. Sekiranya ada kata yang dirasa menyakitkan, dia cari padan kata lainnya. Membaca lagi dan mengulanginya lagi. Sampai dia merasa tentram membacanya, seolah itu bukan tulisannya, tapi dia sedang membaca tulisan orang lain mengenai dirinya. Setelah hatinya tenang, barulah dia publikasi tulisannya, dan dia bertawakal kepada Allah berdoa untuk kemashalatan pembacanya. Agar tulisannya bisa dipahami, mencerahkan dan menginspirasi kebaikan di atas kemuliaan..
Sedangkan mencerca? Tidak. Cercaan, olok-olok, umpatan-umpatan isinya ya cuma seperti itu. Penulisnya mungkin berilmu atau sedikit berilmu. Tapi dipastikan sumbu pendek. Tidak mau berpikir panjang, asal nulis. Tidak mempertimbangkan akibat-akibat yang mungkin akan muncul pasca tulisannya terpublikasi. Penulis-penulis seperti ini mengedepankan emosi, dalam keadaan mereka mencerca sesamanya dengan "berkata dengan hawa nafsu".. Tulisannya untuk saudaranya semuslim berbalik ke arahnya sendiri dan keadaan dia tidak menyadari. Dia tidak peduli apakah tulisannya akan melukai hati kawannya atau engga. Dia tidak lagi ambil pusing, apakah tulisannya akan bermashlahat buat dirinya sendiri atau orang lain. Tulisan-tulisan manusia tipe seperti ini biasanya justru memadharatkan. Menjauhkan manusia dari ilmu dan kemuliaan. Menjerumuskan temen-temennya sendiri ke dalam kubangan demi kubangan kotor yang akhirnya susah dibersihkan. Mengotori jiwa dan hati manusia, sampai datangnya pertolongan Allah berupa ujian ke dalam hidupnya.
Penulis-penulis yang merasa tenang dan nyaman dengan tulisan-tulisan buruknya, bisa jadi karena memang berasal dari tabiat yang melekat dalam kepribadiannya. Bisa jadi juga, karena si penulis buruk ini tidak pernah merasakan pahitnya hidup. Allah mengaruniakan padanya keselarasan hidup sejak kecil. Tidak memberinya cobaan atau ujian hidup yang berarti. Keluarganya sehat wal afiat, rizkinya lancar, hidupnya lurus, tanpa angin tanpa badai. Ya, pribadi yang tidak teruji. Bisa jadi ketika rizkinya sempit, anak-anaknya sakit; ada yang ayan, ada yang downsyndrom, ada orangtuanya yang stroke, istrinya gila, dan seterusnya dan sebagainya, pastilah dia akan berpikir berkali-kali ketika menulis. Tulisannya akan mengasyikkan dibaca, karena menginspirasi dan mengandung faedah besar. Hati itu kadang bisa bergetar hanya dengan mengikuti alur cerita yang dia tulis. Tentang apa saja. Tidak harus tentang akherat. Tulisannya tentang dunia menyemangatkan, tulisannya tentang akherat memerenungkan..
Baiklah, mungkin ujian hidupnya banyak. Keluarganya berantakan. Anak-anaknya tidak terurus.. Ekonomi pas-pasan, utang sana-sini. Ilmunya tidak seberapa kecuali hasil copas-copes yang dia pungut dari pinggir jalanan media sosial. Tapi tetaplah tulisannya kasar dan mencengangkan orang-orang yang berjiwa lembut. Berarti bisa jadi itu memang sudah jadi tabiat. Tidaklah akan muncul tulisan yang seperti ini kecuali dari jenis manusia dengan tabiat yang tidak bagus. Tidak akan sembuh orang seperti ini dan berubah, kecuali mendapat taufik dari Allah ta'ala..
Tulislah yang berfaedah saudaraku. Yang menginspirasi dan mencerahkan. Tidak harus lembuuuuuuuuuuuutttttt bangeeeeeeeettt. Enggak. Ketika hendak menghajar, hajarlah dengan dalil dan hujah. Ketika harus ngamuk, amuklah dengan amarah yang disyariatkan dan membikin perubahan, bukan membakar kehormatan dan harga diri orang lain.
Kebaikan dan kejahatan selalu ada bedanya, selalu terasakan oleh jiwa. Baik ketika menampakkan kelembutan maupun amarah.
[Eko Prast]